Saat memutuskan terjun ke politik, Kaesang Pengarep disentil. Ia dianggap tidak konsisten dengan omongan-lah, memanfaatkan pamor bapak-lah, hingga yang paling parah, dianggap melaksanakan misi dinasti politik keluarga presiden.
Itu anggapan aneh bin ajaib. Semua orang mendadak jadi sok bersih ketika isu soal Kaesang tersebut naik ke permukaan. Padahal, anak pejabat atau anak dari seorang elit politik sudah menjadi hal yang biasa di republik ini. Bedah saja partai-partai besar itu. Pasti ada satu-dua kader yang mendapatkan keistimewaan dari pamor dan jabatan orang tuanya dalam politik.
Baca Juga: Jelang Pemilu, Kaesang Ziarah ke Makam Gus Dur
Pertanyaannya, apakah itu salah? Jelas tidak sebab tidak ada satu pun ketetapan baku di negara ini untuk seorang anak dilarang meneruskan jejak politik orang tuanya dalam wadah yang diakui secara demokratis. Konstitusi tidak membatasi hal itu sebab dalam UUD 45, berpolitik adalah hak semua warga negara.
Kaesang, dalam hal keputusannya masuk ke PSI, dinilai menjadi sebuah upaya untuk melenggangkan sebuah dinasti hanya karena tak lama setelah memutuskan bergabung, ia ditunjuk pula jadi ketua umum tersebut. Pertanyaanya, dinasti apa yang sedang dibangun Kaesang di PSI, sedangkan Jokowi kader PDI Perjuangan?
Bukankah dinasti politik itu bisa dibenarkan ketika bapak dan anak, atau ibu dan anak hidup berkecimpung dalam satu partai, yang kemudian sang anak mendapatkan keistimewaan dalam kepengurusan partai sehingga punya jabatan politik di institusi negara? Silakan jawab sendiri.
Bisa diyakini bahwa narasi dinasti politik itu hanya bentuk ketakutan pihak-pihak yang berseberangan dengan Kaesang atau bahkan Jokowi, yang sengaja digoreng untuk mempengaruhi preferensi publik.
Kemudian, Kaesang disebut mendapat jabatan ketua umum partai karena pamor bapaknya sebagai presiden. Anggapan itu sejatinya lebih ngaco lagi. Partai politik adalah sebuah bentuk dari demokrasi yang menjadikan preferensi dari publik untuk meraup aspirasi dan menjalankan demokrasi. Makin populer sebuah partai, tingkat keterpilihan makin tinggi, dan setiap partai politik di negeri ini juga menggunakan hal yang sama, yakni mengeruk popularitas dari tokoh yang lebih populer untuk meraup popularitas.
Sederhananya, jika partai tidak populer, adalah hil yang mustahal bagi sebuah partai politik untuk mendapatkan suara pemilih. Hal itu bukanlah unsur pemaksaan. Hanya saja, perlu dipahami bahwa penunjukkan Kaesang merupakan keputusan tepat PSI untuk mendongkrak elektabilitas partai. Hal itu sah dan bukan masalah.
Di sisi lain, keputusan PSI menempatkan Kaesang sebagai ketua umum bisa ditangkap sebagai upaya meregenerasi jabatan elit partai, yang selama ini terkenal hanya diisi oleh tokoh-tokoh senior seakan-akan jabatan tertinggi dalam lembaga yang menjadi representasi akar rumput itu haram ditempati oleh anak muda.
Sekarang sebulan sudah Kaesang menekuni profesi barunya itu. Ada begitu banyak dampak yang terlihat sejak ia bergabung dengan PSI. Partai berlambang bunga itu makin kuat, gempar-gempur Kaesang trengginas, apalagi jika membicarakan koalisi pengusung capres. Ah, tidak usah dibahas. Nanti ada yang kepanasan.
Gempuran Kaesang dalam politik, meskipun baru sebulan jadi politikus, sudah membuat orang-orang tua dalam partai kelimpungan. PSI yang dulu tidak begitu dilirik oleh pengusung Jokowi kini kian diperhitungkan, bahkan bisa bicara banyak dalam penentuan cawapres Prabowo Subianto, yang jatuh kepada kakaknya sendiri, Gibran.
Orang-orang tua kolot yang sok nge-elit itu patutnya mawas diri. Zaman sudah berubah, dan roda waktu berputar dengan cepat. Pikiran kolot ala tradisi Orba dalam politik itu sudah selayaknya ditinggalkan. Gaya lama yang mendiskreditkan kepemimpinan orang muda dalam politik sudah patut dilupakan.
Baca Juga: Untuk Jokowi, Kaesang Dapat Titipan Istimewa dan Habib Hussein
Kiprah Kaesang patut diapresiasi sebab telah mendorong pendidikan politik sejak dini kepada generasi muda. Persoalan bangsa ini sangat banyak, dan sudah saatnya pula segala masalah itu ditangani oleh orang yang lebih punya tenaga, seperti kata Soekarno, "Beri aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncang dunia."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement