Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

OJK Rilis Laporan Surveillance Perbankan Indonesia Triwulan III 2023, Bagaimana Hasilnya?

OJK Rilis Laporan Surveillance Perbankan Indonesia Triwulan III 2023, Bagaimana Hasilnya? Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Otoritas Jas​a Keuangan (OJK) menerbitkan Laporan Surveillance Perbankan Indonesia (LSPI) Triwulan III-2023 yang memuat overview dan analisis kondisi perekonomian global dan domestik serta kaitannya dengan perkembangan kinerja, penyaluran kredit atau pembiayaan, serta profil risiko yang dihadapi oleh perbankan.

Di sisi perekonomian global dan domestik pada periode laporan, disampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi beberapa negara utama mengalami divergensi seiring dengan ketidakpastian global yang meningkat. Namun, meski begitu, ekonomi domestik pada triwulan III-2023 dinilai masih relatif tumbuh kuat sebesar 4,94%, walau memang melambat dari triwulan sebelumnya sebesar 5,17%.

Baca Juga: Presiden Jokowi: Ekonomi Outlook 2024 Indonesia Sangat Optimis

Relatif kuatnya pertumbuhan ekonomi domestik utamanya didorong oleh permintaan yang solid tecermin pada kuatnya konsumsi rumah tangga serta meningkatnya investasi di tengah turunnya pengeluaran pemerintah dan kinerja ekspor, masing-masing karena pergeseran belanja pegawai dan penurunan nilai ekspor maupun impor sejalan dengan perlambatan ekonomi global. 

Ekonomi domestik yang relatif kuat juga terekam pada indikator perbankan sebagaimana terlihat pada pertumbuhan kredit (bank umum) yang masih cukup baik yaitu sebesar 8,96%, meskipun melambat dari periode yang sama tahun sebelumnya yaitu mencapai 11,00%. Pertumbuhan kredit tersebut turut didorong oleh membaiknya aktivitas usaha dan meningkatnya tingkat keyakinan (optimisme) konsumen. 

Di sisi lain, DPK sebesar 6,54% atau sedikit melambat dari tahun sebelumnya sebesar 6,77%. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan DPK yang tinggi pada masa pandemi yang di antaranya disebabkan terbatasnya konsumsi masyarakat, tingginya surplus di beberapa perusahaan korporasi, meningkatnya konsumsi masyarakat seiring dengan penyesuaian status pandemi menjadi endemi, peralihan arus dana non-residen ke luar seiring tingginya suku bunga global, serta dampak dari instrumen alternatif penempatan dana selain DPK yang semakin atraktif. 

Baca Juga: Gibran Rakabuming Soal Keluar dari Middle Income Trap: Memajukan Ekonomi Indonesia

Selain itu, perlambatan DPK juga disebabkan adanya aksi sebagian korporasi yang melakukan self financing dengan menggunakan surplus cashflow di perbankan untuk membiayai kebutuhan belanja operasional. Hal tersebut sejalan dengan perlambatan pertumbuhan Kredit Modal Kerja (KMK) dibanding tahun lalu. 

Dalam situasi demikian, kondisi likuiditas bank umum sebenarnya masih cukup memadai sebagaimana tecermin dari rasio AL/NCD dan AL/DPK masing-masing sebesar 115,37% dan 25,83%, masih jauh di atas threshold. Tingkat permodalan juga cukup solid dengan CAR sebesar 27,33% yang utamanya ditopang perbaikan tingkat rentabilitas (ROA) yang antara lain karena membaiknya tingkat efisiensi perbankan. Risiko kredit juga terpantau membaik dengan rasio NPL gross dan NPL net yang menurun dan relatif stabil masing-masing menjadi 2,43% dan 0,77%

Sejalan dengan kinerja bank umum, kinerja BPR dan BPRS juga cukup baik dengan kredit/pembiayaan dan DPK masih tumbuh tinggi meski melambat dibandingkan tahun sebelumnya, khususnya pada BPRS. Rasio permodalan juga cukup kuat dengan CAR BPR dan BPRS masing-masing sebesar 30,94% dan 28,12%. 

Baca Juga: Soal Isu Indonesia Alami Deindustrialisasi, Kemenperin Beberkan Faktanya

Ke depan, tetap perlu diperhatikan risiko perbankan utamanya risiko pasar dan dampaknya pada risiko likuiditas, serta potensi peningkatan risiko kredit seiring peningkatan biaya dana yang dapat berdampak pada penurunan daya beli nasabah. 

Oleh karena itu, perbankan didorong untuk meningkatkan daya tahannya melalui penguatan permodalan dan menjaga coverage CKPN secara memadai, serta secara rutin melakukan stress test untuk mengukur kemampuan permodalannya dalam menyerap potensi risiko khususnya terkait penurunan kualitas kredit restrukturisasi. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Belinda Safitri
Editor: Belinda Safitri

Advertisement

Bagikan Artikel: