Modantara Nilai Bonus Hari Raya Harus Berdasarkan Kinerja, Bukan Sekadar Terdaftar!

Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) mengapresiasi perhatian Presiden Prabowo Subianto terhadap kesejahteraan mitra pengantaran digital. Namun, asosiasi ini menilai kebijakan yang dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) terkait Bonus Hari Raya (BHR) justru tidak selaras dengan arahan Presiden dan berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi industri.
Salah satu poin yang dikritik Modantara adalah kewajiban memberikan BHR kepada seluruh mitra terdaftar, tanpa mempertimbangkan tingkat aktivitas mereka. Menurut Modantara, hal ini tidak adil bagi mitra yang lebih aktif dan produktif.
"Apakah adil jika mitra yang baru bergabung atau hanya menyelesaikan satu hingga dua pesanan mendapatkan bonus yang sama dengan mereka yang telah bekerja keras?" ujar asosiasi dalam pernyataan resminya, Senin (10/3/2025).
Baca Juga: Ojol Sambut Gembira Bonus Hari Raya: Baru di Era Presiden Prabowo Kami Dikasih BHR
Selain itu, Modantara menilai ketentuan dalam SE yang mengharuskan perusahaan memberikan BHR sebesar 20% dari pendapatan rata-rata bulanan mitra selama 12 bulan terakhir terlalu membebani perusahaan. Kebijakan ini, menurut Modantara, tidak mempertimbangkan kemampuan finansial masing-masing platform yang memiliki model bisnis dan struktur biaya operasional berbeda.
Modantara juga menyoroti potensi ekspektasi yang keliru akibat aturan ini. Dengan adanya kewajiban memberikan BHR kepada seluruh mitra, termasuk yang sudah lama tidak aktif, hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakpuasan dan gesekan di lapangan. "Arahan Presiden jelas menyebutkan bahwa BHR diberikan kepada mitra aktif, bukan sekadar terdaftar," tegas Modantara.
Lebih jauh, asosiasi ini menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang mengikat. Pemerintah, menurut mereka, tidak dapat memaksakan kebijakan yang bisa mengancam keberlanjutan usaha platform digital. "Jika perusahaan dipaksa memberikan bonus sementara kondisi keuangan tidak memungkinkan, justru bisa berdampak pada kebangkrutan dan hilangnya mata pencaharian bagi mitra sendiri," ungkap Modantara.
Baca Juga: Presiden Prabowo Umumkan soal Bonus Hari Raya Ojol dan THR Pekerja
Modantara juga mengkritik tekanan dari kelompok tertentu yang mengatasnamakan serikat pengemudi untuk melakukan aksi off-bid massal. Mereka menyebut bahwa aksi tersebut hanya didukung oleh sebagian kecil mitra dan tidak mencerminkan suara mayoritas. Selain itu, mereka menilai tuntutan agar mitra pengantaran diangkat sebagai pekerja tetap merupakan narasi yang menyesatkan dan tidak mempertimbangkan fleksibilitas kerja yang selama ini menjadi daya tarik utama industri ini.
Sebagai perbandingan, Modantara menyoroti kebijakan di negara lain seperti Swiss, Spanyol, dan Inggris, di mana regulasi yang terlalu ketat terhadap platform digital justru menyebabkan penurunan drastis jumlah mitra. Jika kebijakan serupa diterapkan di Indonesia, mereka memperingatkan bahwa jutaan mitra dapat kehilangan sumber penghasilan alternatif mereka.
Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, menyatakan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah harus mempertimbangkan keseimbangan antara dukungan untuk mitra dan keberlanjutan industri. "Memaksakan kebijakan yang tidak realistis justru berisiko menciptakan masalah lebih besar, termasuk meningkatnya angka pengangguran dan hilangnya peluang ekonomi bagi jutaan masyarakat," tegasnya.
Modantara berharap pemerintah lebih bijaksana dalam menyusun kebijakan terkait ekonomi gig. Mereka mendorong agar setiap kebijakan dibuat berdasarkan data objektif, kajian dampak yang komprehensif, serta dialog inklusif dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk platform digital, mitra pengemudi, UMKM, dan pengguna.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement