Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Data Kemiskinan antara BPS dan World Bank kok Beda, DPR: Penerimaan Negara Terendah se-ASEAN

Data Kemiskinan antara BPS dan World Bank kok Beda, DPR: Penerimaan Negara Terendah se-ASEAN Kredit Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota Komisi IV DPR Saadiah Uluputty, menyoroti ketimpangan tajam antara data resmi yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan laporan World Bank terkait angka kemiskinan di Indonesia. 

Ia menegaskan bahwa perbedaan metodologis yang ekstrem harus menjadi bahan evaluasi serius, terutama dalam konteks kerja Komisi IV yang membidangi sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan.

Sebab, menurutnya, ketiga sektor tersebut merupakan tumpuan ekonomi mayoritas penduduk miskin di daerah pedesaan, pesisir, dan kepulauan.

Ia menguraikan bahwa BPS mencatat angka kemiskinan nasional per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

Namun, World Bank dalam laporan ‘Macro Poverty Outlook’ April 2025 mengungkapkan bahwa berdasarkan ambang batas negara berpendapatan menengah atas (US\$6,85 PPP), 60,3 persen penduduk Indonesia tergolong miskin.

“Ini bukan hanya soal statistik, tapi menyangkut keberpihakan negara terhadap rakyat kecil. Saat rakyat kita belum mampu memenuhi standar hidup layak global, itu berarti ada masalah struktural yang harus diselesaikan secara serius,” ujar Saadiah dalam rilisnya.

Legislator Dapil Maluku ini menyoroti bahwa sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan merupakan wajah dari kemiskinan Indonesia yang tersembunyi di balik angka makroekonomi yang tampak membaik.

Meskipun sektor pertanian tumbuh signifikan sebesar 10,52% (y-on-y) pada triwulan I-2025 menurut BPS, pertumbuhan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh petani kecil.

"Harga jual komoditas yang fluktuatif, akses pupuk yang masih terbatas, dan distribusi program bantuan yang belum merata membuat petani tetap berada di lingkar kemiskinan,” tegas politisi yang juga Anggota Badan Anggaran DPR RI ini.

Sementara di sektor kehutanan, program rehabilitasi lahan kritis dan pemberdayaan masyarakat adat masih belum mendapat porsi anggaran yang memadai.

Ia juga menyinggung rasio penerimaan negara terhadap PDB yang hanya 12,8 persen, terendah di antara negara-negara ASEAN. Hal ini mempersempit ruang fiskal untuk memperkuat layanan dasar di sektor-sektor esensial seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: