Kredit Foto: Antara/Idhad Zakaria
Wacana menjadikan pengemudi ojek online (ojol) sebagai pekerja tetap kembali mencuat setelah Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) melayangkan tuntutan pada 29 April 2025.
ASPEK Indonesia meminta agar pengemudi ojol diakui sebagai pekerja tetap demi memperoleh perlindungan menyeluruh, seperti tunjangan kesehatan, asuransi, dan jaminan pensiun yang selama ini belum sepenuhnya dinikmati dalam status kerja fleksibel.
Namun, wacana ini menuai respons beragam dari berbagai pihak, mulai dari kalangan ahli ekonomi, aplikator, hingga pengemudi itu sendiri. Sebagian menyambut positif gagasan tersebut karena dinilai dapat memberikan rasa aman dan stabilitas ekonomi. Namun, ada pula yang menganggapnya sebagai ancaman terhadap sistem kerja yang selama ini memberi keluwesan.
Baca Juga: Diusulkan Masuk UMKM, Driver Ojol Bisa Dapat Fasilitas dan Insentif dari Negara
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai kebijakan ini harus dirancang dengan hati-hati agar tidak menurunkan insentif bagi pengemudi.
“Dengan model fleksibel yang ada sekarang, pengemudi dapat bekerja sesuai dengan permintaan pasar dan mendapatkan penghasilan yang bervariasi. Jika diubah menjadi pekerja tetap, jumlah pekerjaan yang dapat diambil akan terbatas, yang mungkin akan merugikan mereka yang bergantung pada penghasilan lebih tinggi saat jam sibuk,” ujar Nailul, Rabu (7/5/2025).
Menurutnya, perlu dipertimbangkan dampak sosial dan ekonomi terhadap pengemudi yang selama ini diuntungkan oleh sistem kerja fleksibel.
Ekonom senior dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, juga mengingatkan agar kebijakan ini dilihat secara menyeluruh.
"Kebijakan ini harus dilihat dari berbagai aspek, tidak hanya dari sisi perlindungan sosial tetapi juga dampaknya terhadap model bisnis dan daya saing industri. Jika status pengemudi diubah, bisa jadi banyak orang yang menginginkan pekerjaan fleksibel dengan pendapatan harian akan kehilangan kesempatan,” kata Wijayanto.
Sementara itu, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza Munusamy, menyatakan bahwa skema pekerja tetap berpotensi merusak ekosistem transportasi digital yang selama ini inklusif dan adaptif.
"Jika pengemudi menjadi karyawan, maka akan ada seleksi, kuota, dan pembatasan jam kerja. Saat ini, siapa pun bisa mendaftar dan langsung bekerja tanpa batasan waktu,” jelas Tirza pada 10 April 2025.
Baca Juga: Pemerintah Kaji Libatkan Ojol dalam Distribusi Program Makan Bergizi Gratis
Ia menilai model kerja saat ini justru menjadi bantalan sosial di tengah ketidakpastian ekonomi.
“Jika kita ubah semuanya jadi karyawan, barrier to entry akan naik. Hanya sebagian orang yang akan bisa bekerja, sementara jutaan yang lain kehilangan akses untuk mencari nafkah,” ungkap Tirza.
Menurut Tirza, perubahan ini juga akan memengaruhi banyak pelaku UMKM yang mengandalkan layanan GrabFood, GrabMart, dan lainnya.
Lebih jauh, ia menambahkan bahwa perubahan status pengemudi menjadi karyawan akan meningkatkan biaya operasional perusahaan secara signifikan.
“Biaya operasional bisa melonjak, yang pada akhirnya akan berdampak pada harga layanan yang harus dibayar oleh konsumen,” imbuhnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cita Auliana
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement