Perjalanan HM Sampoerna dari Produsen Rokok Kretek, Pionir Rokok Rendah Nikotin, hingga Dibeli Philip Morris International
Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Didirikan pada tahun 1913 di Surabaya oleh seorang imigran Tionghoa bernama Liem Seeng Tee, PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (HM Sampoerna) bertransformasi dari sebuah bisnis rumahan sederhana menjadi salah satu perusahaan tembakau terbesar di Indonesia.
Sejak awal, Liem Seeng Tee menanamkan filosofi “kesempurnaan” ke dalam setiap aspek bisnisnya. Hal ini tercermin ketika ia mengadopsi nama keluarga “Sampoerna” pada tahun 1930-an, sebuah kata yang berarti “sempurna” dalam bahasa Indonesia. Visi ini kemudian diperkuat oleh "Falsafah Tiga Tangan", sebuah prinsip yang berkomitmen untuk melayani perokok dewasa, karyawan dan mitra usaha, serta masyarakat luas.
Produk pertama yang diluncurkan oleh Liem Seeng Tee adalah rokok kretek lintingan tangan yang ikonik, Dji Sam Soe, pada tahun yang sama dengan pendirian perusahaan. Merek ini, yang namanya berarti "Dua Tiga Empat" dalam dialek Hokkien, dengan cepat menjadi salah satu merek rokok kretek terkemuka di Indonesia.
Di tengah gejolak ekonomi, termasuk Depresi Ekonomi global tahun 1930-an, industri kretek menjadi satu-satunya sektor ekonomi pribumi yang berkembang pesat di Hindia Belanda, dan Dji Sam Soe menjadi simbol ketahanan di masa-masa sulit.
Tongkat estafet kepemimpinan diserahkan kepada Putera Sampoerna, cucu sang pendiri, pada tahun 1978. Di bawah kendalinya, perusahaan mengalami modernisasi besar-besaran, beralih dari bisnis keluarga tradisional menjadi korporasi publik yang dikelola secara profesional. Puncaknya, perusahaan resmi go public pada tahun 1990.
Inovasi paling berani Putera Sampoerna adalah penciptaan rokok rendah tar dan nikotin (LTLN) yang dikenal sebagai rokok mild. Pada tahun 1989, ia meluncurkan merek A Mild, yang menjadi pionir di kategori rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) mild di Indonesia. Keberhasilan A Mild tidak hanya menciptakan segmen pasar baru, tetapi juga mendorong kompetitor besar lainnya untuk mengikuti jejaknya, menegaskan posisi Sampoerna sebagai pemimpin pasar yang visioner.
Pada tahun 2005, Putera Sampoerna membuat keputusan paling sensasional dalam sejarah perusahaan: menjual seluruh saham keluarganya kepada Philip Morris International (PMI). Penjualan ini dinilai sebagai langkah strategis yang cerdas, karena Putera Sampoerna melihat tantangan di masa depan industri rokok dan memilih untuk mengalihkan fokusnya ke sektor lain yang lebih menjanjikan melalui perusahaan investasi barunya, Sampoerna Strategic.
Bagi PMI, akuisisi ini memberikan akses langsung ke pasar rokok Indonesia, yang merupakan pasar rokok terbesar di luar Tiongkok. Dengan mengambil alih HM Sampoerna, PMI memperoleh ekosistem bisnis yang sudah mapan, termasuk manajemen, pabrik, dan jaringan distribusi yang secara signifikan mempercepat ekspansinya di Indonesia.
Di bawah PMI, HM Sampoerna terus memperkuat posisinya sebagai pemimpin pasar, dengan pangsa pasar yang mencapai 31% pada Semester I-2025. Perusahaan tidak hanya terus memproduksi merek-merek lokal ikonik, tetapi juga mendistribusikan merek global seperti Marlboro dan produk bebas asap seperti IQOS.
Hingga saat ini, HM Sampoerna tetap teguh pada Falsafah Tiga Tangan, yang kini diwujudkan melalui berbagai program di bawah inisiatif "Sampoerna untuk Indonesia". Perusahaan bermitra dengan lebih dari 19.500 petani tembakau, bekerja sama dengan 43 Third Party Operators (TPO), dan mendigitalisasi 250.000 toko kelontong tradisional melalui program Sampoerna Retail Community (SRC).
Di Surabaya, House of Sampoerna yang dulunya merupakan pabrik pertama, kini menjadi museum yang mengenang perjalanan perusahaan dan menunjukkan komitmennya pada warisan sejarah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement