- Home
- /
- Kabar Finansial
- /
- Bursa
Miris! Pasar Modal Indonesia Bergantung ke Saham Perusahan Milik Konglomerat
Kredit Foto: Uswah Hasanah
Praktisi pasar modal Hans Kwee menilai pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat ini banyak digerakkan oleh saham-saham konglomerasi besar. Kondisi tersebut menunjukkan arah indeks belum sepenuhnya mencerminkan kondisi riil pasar karena sebagian besar pergerakan masih bergantung pada emiten berkapitalisasi besar yang dikendalikan grup konglomerat.
“Indeks kita sudah sangat sulit diprediksi. Setelah saham-saham konglo naik, pasar seperti kehilangan arah. Kalau indeks kita tanpa saham konglo, mungkin cuma di level 6.000-an,” ujar Hans kepada awak media, Kamis (6/11/2025).
Ia menjelaskan bahwa dominasi saham konglomerasi mencerminkan ketimpangan struktur pasar modal Indonesia, di mana sebagian kecil saham memiliki pengaruh besar terhadap IHSG. Meski demikian, Hans menegaskan saham konglomerasi tidak dapat dikategorikan sebagai saham gorengan.
“Saham konglo tidak bisa dibilang gorengan. Mereka punya kinerja masa lalu yang bagus dan prospek yang jelas, hanya valuasinya mahal,” tegasnya.
Baca Juga: Pengawasan Ketat Diperlukan Guna Cegah Goreng Saham di Pasar Modal
Hans menambahkan, istilah saham gorengan sebenarnya tidak diatur dalam regulasi pasar modal. Yang diatur adalah tindakan manipulasi pasar. “Kalau kita cari di undang-undang, tidak ada definisi saham gorengan. Yang ada itu saham yang dimanipulasi. Jadi kalau naik tanpa dasar jelas, itu baru berbahaya,” jelasnya.
Sebagai contoh, Hans menyebut saham PANI sebagai salah satu emiten konglomerasi yang memiliki potensi jangka panjang karena nilai bisnisnya belum sepenuhnya terealisasi. Ia menilai penting bagi investor untuk membedakan antara spekulasi tanpa fundamental dengan kenaikan harga yang didorong prospek bisnis kuat.
Selain pengaruh saham konglomerasi, Hans juga menyoroti dominasi investor ritel di pasar modal. “Investor ritel kita dominan sekali. Mereka yang paling aktif di pasar. Kalau cuan, senang; kalau rugi, marah,” ujarnya.
Baca Juga: Target Pertumbuhan Ekonomi 8% Jadi Momentum Optimisme Pasar Modal
Sementara itu, investor institusional seperti dana pensiun, BPJS, dan manajer investasi dinilai masih pasif karena cenderung berhati-hati mengelola dana publik. “Kalau dana pribadi rugi, tidak masalah. Tapi kalau dana institusi rugi, bisa dibilang kerugian negara. Karena itu, institusi lebih memilih saham-saham besar dan aman seperti BCA, Mandiri, dan BRI,” kata Hans.
Ia menilai situasi ini membuat pergerakan pasar modal lebih volatil karena dipengaruhi sentimen jangka pendek dari investor ritel. Namun, Hans optimistis dinamika tersebut dapat berubah seiring meningkatnya literasi keuangan dan kepercayaan institusi terhadap pasar.
“Kalau subscription dari nasabah masuk, manajer investasi baru bisa menambah portofolio. Tapi sejauh ini, mereka masih menunggu,” ujarnya. Hans mengimbau investor tetap berhati-hati dan berinvestasi berdasarkan fundamental, bukan euforia pasar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement