Teknokrasi yang Bekerja Sunyi dalam Program MBG
Oleh: Isyraf Madjid, Sekretaris Jenderal Indonesia Food Security Review (IFSR)
Kredit Foto: Dok. Pemprov DKI Jakarta
Dalam perumusan kebijakan publik, tidak semua kerja keras terlihat oleh publik. Proses teknokratik lebih sering berlangsung dibalik layar, disusun melalui riset berbasis bukti, perencanaan, serta koordinasi lintas lembaga yang tidak selalu tampak. Begitu pula dengan Program Makan Bergizi Gratis atau MBG yang dijalankan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Program ini lahir dari rancangan teknokratik yang panjang dan menjadi fondasi utama di balik implementasinya.
MBG bukan kebijakan yang muncul tiba-tiba. Ia merupakan evolusi dari program gizi yang telah berjalan lebih dari tiga dekade. Sejak awal 1990-an, pemerintah menjalankan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah atau PMTAS untuk mengatasi kekurangan gizi di wilayah miskin. Pada akhir 1990-an, cakupan program meluas menjadi kebijakan nasional yang menjangkau lebih dari delapan juta siswa di puluhan ribu sekolah.
Baca Juga: MBG Jadi Investasi Gizi Jangka Panjang, Bukan Sekadar Makan Gratis
Periode 2016 sampai 2019 menandai lompatan berikutnya melalui Program Gizi Anak Sekolah atau PROGAS. Bersama mitra internasional, sekolah menyediakan makanan lengkap berkisar 400 sampai 500 kilokalori dengan 10 sampai 12 gram protein per porsi. Pergeseran dari kudapan menuju makanan lengkap di lingkungan sekolah menjadi pijakan kebijakan hari ini.
Fondasi teknokratik MBG telah disiapkan jauh sejak awal 2024. Kementerian dan lembaga seperti Bappenas, Kementerian Pertahanan, Kemenko Perekonomian, Badan Pangan Nasional, Kementerian Kesehatan, dan Kemendikbud, bersama mitra internasional seperti Unicef, UN Global Pulse, dan WFP, menyusun kajian komprehensif mengenai desain serta pembiayaan program.
Bappenas, melalui dokumen perhitungan kebutuhan anggaran untuk skema susu dan makan siang, mengestimasi kebutuhan tahunan, mengurai biaya per porsi, hari efektif, dan proyeksi logistik lintas wilayah. Rangkaian kajian ini menunjukkan bahwa MBG dirancang melalui kalkulasi teknokratik yang matang, bukan improvisasi sesaat.
Di lapangan, sejumlah uji coba dilakukan untuk menilai efektivitas pendekatan. Di Kecamatan Warung Kiara, Kabupaten Sukabumi, dilaksanakan percontohan dengan metode central kitchen. Hasilnya menunjukkan peningkatan kehadiran siswa dan keteraturan pola makan di sekolah. Temuan tersebut menjadi rujukan penyusunan prosedur operasi standar dapur MBG serta memperkuat bukti bahwa kebijakan ini memiliki dasar empiris.
Pada tahun yang sama, cerita praktik baik Indonesia diangkat oleh School Meals Coalition dan WFP melalui publikasi mengenai pilot school meals yang menonjolkan dua sisi manfaat, yaitu gizi anak serta penguatan ekonomi lokal lewat serapan hasil panen petani dan penciptaan lapangan kerja.
Hasil dari evaluasi pilot project menunjukkan dampak MBG di banyak dimensi. Di sekolah, kehadiran dan keterlibatan belajar meningkat, kebiasaan jajan menurun, dan indikator gizi membaik. Di sisi ekonomi, rantai pasok pangan lokal bergerak melalui serapan produk petani dan pelaku UMKM serta terbukanya kesempatan kerja baru. Sejumlah kajian menilai nilai sosial yang dihasilkan dapat mencapai kelipatan yang tinggi dibanding biaya penyelenggaraan, di samping manfaat nonkuantitatif seperti inklusi sosial dan literasi gizi.
Mitra pembangunan internasional juga terlibat dalam proses perencanaan MBG. National Centre of Excellence for the Makan Bergizi Gratis atau NCoE MBG didirikan pada Februari 2025 dengan
kolaborasi antara Bappenas, Badan Gizi Nasional, IPB University, dan UNICEF. Fungsinya sebagai laboratorium kebijakan untuk menguji modul teknis, antara lain desain dapur, adaptasi menu berdasarkan karakteristik daerah, serta sistem logistik dan pemantauan. Selain peran riset dan inovasi, NCoE juga menjadi pengelola pengetahuan yang menyokong BGN dalam penyusunan regulasi dan panduan operasional. Dengan mekanisme ini, hasil uji lapangan dapat segera diintegrasikan ke perbaikan pelaksanaan.
Dalam kerangka pembangunan manusia, MBG merupakan wujud teknokrasi terapan, perpaduan antara ilmu, empati, dan ketepatan eksekusi. Teknokrasi tidak selalu tampil sebagai rumus atau istilah akademik. Ia hidup sebagai sistem yang adaptif. MBG membuktikan bahwa kebijakan berbasis data dapat berjalan berdampingan dengan visi kerakyatan.
Jika sebagian pihak belum melihatnya, bukan karena teknokrasi absen, melainkan karena ia bekerja dalam bentuk yang lebih tenang, di dapur sekolah, di pusat logistik pangan, di layar sistem pemantau, dan pada piring makan anak Indonesia.
Baca Juga: Menumbuhkan Kepercayaan Publik Lewat Program Makan Bergizi Gratis
Kebijakan yang baik bukanlah yang sempurna sejak awal, melainkan yang siap diperbaiki di tengah jalan. Di sanalah MBG berdiri, di antara ilmu, aksi, dan empati, sebagai teknokrasi yang bekerja nyata untuk memperkuat layanan publik dan siap memberikan dampak nyata bagi masyarakat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement