WALHI di COP30: Negara Diambil Alih Korporasi, Kebijakan Iklim Harus Kembali ke Rakyat
Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyerukan tuntutan “Kembali ke Rakyat–Kembali ke Akar” pada Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Belem, Brasil. Seruan ini disampaikan sebagai dorongan agar negosiasi iklim kembali fokus pada keadilan iklim dengan merekognisi hak, peran, pengetahuan, dan praktik tradisional masyarakat dalam penyusunan kebijakan adaptasi dan mitigasi.
WALHI menilai pertemuan iklim global selama beberapa tahun terakhir tidak menunjukkan kemajuan berarti sejak komitmen penahan kenaikan suhu 1,5°C disepakati pada COP21 di Paris. Sepanjang 2024 tercatat sebagai tahun terpanas, dengan data WMO menunjukkan rata-rata suhu global mencapai 1,55°C ± 0,13°C di atas periode pra-industri.
WALHI menilai stagnasi ini sebagai konsekuensi dari dominasi kepentingan pihak yang dianggap sebagai penyebab krisis, termasuk pelobi bahan bakar fosil.
Baca Juga: Transisi Hijau atau Transaksi Hijau? WALHI Kritik Keras Agenda Iklim Indonesia
Menurut analisis Koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO), lebih dari 1.600 pelobi fosil hadir di COP30, termasuk 46 orang dalam delegasi Indonesia yang disebut melakukan intervensi dalam negosiasi Pasal 6.4 mengenai pasar karbon. Temuan tersebut dinilai bertentangan dengan sains dan target 1,5°C karena mendorong kelonggaran standar integritas lingkungan dan perlindungan proyek offset berisiko tinggi.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian mengatakan, fakta ini semakin membuktikan bahwa negara telah ‘diambil alih’ oleh korporasi dengan memberikan akses istimewa kepada mereka untuk mempengaruhi kebijakan iklim, dengan melonggarkan aturan pasar karbon, agar para pebisnis fosil dapat dengan mudah meng-offset emisi, sekaligus mendapatkan keuntungan dari bisnis karbon.
"Praktik corporate capture yang dilakukan Indonesia semakin membuktikan bahwa tidak ada agenda keselamatan rakyat dan lingkungan dalam misi delegasi Indonesia. Kita tidak mau terlambat menyelamatkan kehidupan kita, itu lah kenapa kami menyuarakan Kembali ke Rakyat–Kembali ke Akar sebagai call to action dalam COP30 ini, baik dalam aksi global di Belem maupun aksi serentak di Indonesia,” kata Uli dalam keterangan tertulis yang diterima, Minggu (16/11/2025).
Tuntutan serupa disuarakan WALHI bersama jaringan dan komunitas di delapan provinsi: Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, NTT, Jambi, dan Sulawesi Tengah. Direktur Eksekutif WALHI NTT, Yuven Stefanus Nonga, menyoroti kerentanan pulau kecil terhadap krisis iklim.
Baca Juga: Rakyat Punya Solusi Iklim, Bukan Industri: Pesan WALHI di COP 30 Brasil
Yuven mengatakan, perempuan, anak, masyarakat adat, nelayan, petani yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil adalah entitas yang paling rentan saat berhadapan dengan krisis iklim. Menurutnya, mereka hidup di garis depan krisis iklim di tanah yang retak, laut yang naik, dan gunung yang dieksploitasi atas nama transisi hijau.
"Oleh karena itu kami mendesak pemerintah menjadikan kerentanan wilayah dan situasi masyarakat di tapak di seluruh daerah menjadi basis utama dalam menyusun kebijakan iklim berikut dengan agenda aksi dan adaptasinya. Kami percaya jawaban itu bisa ditemukan jika negara kembali ke rakyat,” katanya.
Dari Jambi, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jambi, Oscar Anugrah, menilai komitmen iklim Indonesia belum mengarah pada pelepasan ketergantungan energi kotor. Oscar mengatakan, kebijakan dikeluarkan justru membuka jalan bagi ekspansi industri ekstraktif yang merugikan rakyat dan lingkungan di Jambi.
"Transisi energi berkeadilan hanya dapat diwujudkan apabila negara kembali ke rakyat dan mendengarkan suara rakyat, khususnya perempuan. Mereka lah yang setiap hari berhadapan dengan ketidakpastian iklim dan ancaman dari proyek-proyek energi selama ini. COP30 bukan hanya ruang untuk diplomasi, tetapi harus menjadi titik balik untuk memastikan dan mengawal terwujudnya keadilan ekologis, keadilan gender, dan masa depan ruang hidup rakyat Jambi," ujar Oscar.
Baca Juga: Limbah Radioaktif Ditemukan di Cikande, WALHI Desak Pemerintah Revisi Aturan B3
Di Sulawesi Tengah, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah, Sunardi Katili, menyebut COP30 sebagai pertemuan yang tidak menyentuh akar persoalan. Negara-negara Utara, menurutnya, terus memindahkan beban krisis ke negara Selatan.
“Ini adalah bentuk kolonialisasi iklim,” kata Sunardi.
Ia menilai perdagangan karbon bukan solusi karena hanya mengamankan kepentingan industri besar, khususnya pengolahan nikel yang masih menggunakan PLTU captive batu bara di Morowali dan Morowali Utara. Ia menyebut sejumlah kawasan industri seperti IMIP, IHIP, SEI, Transon Group, Wangxiang, hingga IGIP masih mengandalkan energi fosil.
“Sudah seharusnya menghentikan aktivitas industri ekstraktif dan berhenti membangun yang baru,” tutupnya.
WALHI menegaskan bahwa desakan kembali ke rakyat merupakan langkah untuk menghentikan penyusunan solusi palsu yang memberi ruang bagi para pengemisi besar. IPCC memperkirakan kenaikan suhu lebih dari 1,5°C berpotensi memicu kekeringan yang mengancam hingga 951 juta orang, meningkat menjadi 1,15 miliar orang jika suhu naik 2°C, dan 1,28 miliar orang apabila kenaikan mencapai 3°C.
Baca Juga: COP30 Brasil, Menteri Hanif : Indonesia Perjuangkan 7 Agenda Kunci Kebijakan Iklim Dunia
Di luar kekeringan, kenaikan suhu akan memicu degradasi lingkungan, menurunkan produksi pangan, dan memperparah persoalan sosial-ekonomi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Advertisement