Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Asia Cage-Free Tracker 2025: Transparansi Perusahaan Jadi Tantangan Utama Transisi Telur Bebas Sangkar

Asia Cage-Free Tracker 2025: Transparansi Perusahaan Jadi Tantangan Utama Transisi Telur Bebas Sangkar Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Warta Ekonomi, Bandung -

Sektor pangan Asia kini berada di titik krusial seiring mendekatnya tenggat waktu akhir bagi perusahaan untuk memenuhi komitmen bebas sangkar tahun 2025.

Temuan terbaru menunjukkan bahwa meskipun keterlibatan perusahaan terus meningkat, kemajuan yang ada masih berjalan lambat dan kesenjangan transparansi masih tetap terjadi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kemampuan perusahaan dalam memenuhi lini masa yang berdampak pada kesejahteraan hewan serta rantai pasok global.

Asia Cage-Free Tracker adalah penilaian tahunan yang diterbitkan setiap tahun oleh Sinergia Animal untuk memantau kemajuan perusahaan dalam pengadaan telur bebas sangkar (cage-free) di berbagai pasar utama Asia.

Laporan Asia Cage-Free Tracker tahun 2025 dari Sinergia Animal mengevaluasi 95 perusahaan pangan yang beroperasi di India, Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Kelima negara ini merupakan wilayah penting dari ekonomi telur Asia dan memegang peran penentu dalam akses global terhadap bahan baku telur bebas sangkar.

Laporan tracker ini menunjukkan bahwa 70,5% perusahaan kini telah mengungkapkan tingkat kemajuan tertentu menuju pengadaan telur bebas sangkar, yang merupakan peningkatan tipis dari 69,8% pada tahun 2024. Namun, sebanyak 29,5% perusahaan tetap tidak memberikan laporan publik, dan hanya 14,7% perusahaan yang telah sepenuhnya menerapkan bebas sangkar atau sedang berproses untuk memenuhi komitmen mereka pada akhir tahun 2025, meskipun banyak di antaranya telah menjanjikan transisi tersebut sejak beberapa tahun yang lalu.

Peran penting Asia dalam ekonomi telur global membuat laju yang lambat ini menjadi sangat mengkhawatirkan. Wilayah ini merupakan produsen mayoritas telur komersial dunia.

Thailand memasok telur dan bahan baku olahan ke pasar ekspor utama. Indonesia dan Malaysia membentuk stabilitas pasokan domestik serta regional. India terus memperkuat perannya dalam industri telur bubuk dan bahan baku telur olahan yang digunakan di seluruh dunia. Sedangkan Jepang, sebagai salah satu negara dengan konsumsi telur per kapita tertinggi di dunia, sangat bergantung pada impor untuk bahan-bahan baku utama.

Terlepas dari dinamika tersebut, sistem kandang baterai tetap menjadi metode produksi yang dominan. Ayam-ayam dipelihara dalam ruang yang lebih kecil dari selembar kertas A4 dan tidak mampu mengekspresikan perilaku alami mereka, seperti bersarang, bertengger, dan mandi debu. Meski sistem ini telah dilarang secara bertahap di negara Uni Eropa, Kanada, dan Selandia Baru, penggunaannya masih tersebar luas di seluruh Asia akibat lambatnya implementasi serta adanya celah dalam pelaporan.

Laporan 2025 mengklasifikasikan perusahaan ke dalam sembilan tingkatan (tier) untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang memimpin maupun yang tertinggal dalam masa transisi ini.

Perusahaan-perusahaan seperti Aman Resorts, Capella Hotel Group, Illy Caffè, Lotus Bakeries, Shake Shack, Starbucks, Pizza Marzano, dan The Cheesecake Factory telah menyelesaikan transisi bebas sangkar di seluruh operasional mereka di Asia.

Kelompok lainnya, termasuk Bali Buda, Group Holder, Group Savencia, IKEA, Pizza Express, dan ViaVia Restaurant, telah mengonfirmasi bahwa mereka akan menuntaskan transisi telur bebas sangkar pada akhir tahun 2025.

Walaupun demikian, sebanyak 33 perusahaan hanya merilis kemajuan secara global dan belum menyediakan data khusus untuk wilayah Asia, sehingga penilaian implementasi di tingkat regional menjadi tidak mungkin. Selain itu, 28 perusahaan lainnya ditemukan tidak memiliki transparansi publik sama sekali.

Temuan di tingkat negara menyoroti adanya ketimpangan lebih lanjut, di antaranya Indonesia memiliki jumlah partisipan terbanyak (57 perusahaan), namun implementasinya masih belum konsisten. India menunjukkan tingkat pelaporan yang kuat (78,6%), tetapi pelaksanaannya sangat bervariasi.

Sedangkan Jepang memiliki tingkat transparansi terendah di antara semua perusahaan yang dievaluasi. Kemudian, Thailand menunjukkan keterlibatan yang baik, namun implementasi di tahap lanjut masih terbatas. Sementara itu, Malaysia terus mengalami pertumbuhan partisipasi, tetapi sebagian besar perusahaan masih belum memberikan keterbukaan informasi spesifik untuk negara tersebut.

“Kami melihat adanya pergerakan, tetapi tidak secepat yang dibutuhkan,” kata Nurkhayati Darunifah, Corporate Accountability Lead Asia dan penulis laporan tersebut, Jumat (26/12/2025).

“Tahun depan sangat penting. Perusahaan yang menunda pembaruan berisiko tertinggal karena ekspektasi konsumen terhadap transparansi dan sumber pangan yang bertanggung jawab terus meningkat,” tambahnya.

Adapun Saneekan Rosamontri, Managing Director Sinergia Animal Thailand mengatakan, “Seiring mendekatnya tenggat waktu tahun 2025, perusahaan-perusahaan di seluruh Asia menghadapi momen penentuan,” ujarnya.

“Komitmen bebas sangkar bukan lagi sekadar niat, melainkan soal pembuktian. Pelaporan yang transparan dan tindakan tepat waktu akan menentukan apakah Asia akan mempercepat kemajuan atau justru menjadi penghambat dalam transisi global menuju standar kesejahteraan hewan yang lebih tinggi,” jelasnya.

Act for Farmed Animals, koalisi Animal Friends Jogja dan Sinergia Animal International, akan terus memantau perkembangan dan berkolaborasi dengan bisnis di Asia untuk memastikan standar yang diterapkan memenuhi harapan global akan sistem pangan yang transparan, bertanggung jawab, dan berkelanjutan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: