Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mempertanyakan Pasal Penghinaan Presiden (I)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Rencana "bangkitnya" pasal penghinaan terhadap Presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) kembali yang diajukan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM ke DPR RI patut dipertanyakan.

Pasalnya, dari rancangan itu telah menimbulkan polemik antara pro dan kontra. Bagi mereka yang pro menyatakan presiden sebagai simbol negara memang harus dilindungi mengingat makin kencangnya kritikan terhadap kebijakan yang dikeluarkan, sedangkan yang kontra menyebutkan jika dihidupkan, akan menutup pintu demokrasi.

Bagi yang kontra pasal penghinaan presiden itu dianggap sebagai "pasal karet" karena bagi siapa saja yang mengkritik untuk membangun dapat saja dikenai sanksi pasal tersebut.

"Kebangkitan" pasal penghinaan presiden itu termuat dalam Pasal 262 RUU KUHP, padahal Mahkamah Konstitusi (MK) semasa dipimpin Jimly Asshiddiqie, telah mencabut pasal tersebut.

Pasal 263 Ayat (1) RUU KUHP yang diajukan ke DPR menyebutkan "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".

Kemudian RUU KUHP Pasal 264, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".

Saat ini tinggal menunggu sikap DPR RI apakah akan menerima usulan pasal tersebut atau sebaliknya diterima. Yang jelas, publik menunggunya.

Menhumham Yasonna H Laoly berdalih bahwa pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan pemerintah dalam draf revisi UU KUHP sifatnya berbeda dengan yang dibatalkan oleh MK, yakni dari delik umum menjadi delik aduan.

"Jadi, kalau dahulu sifatnya delik umum. Kalau ada orang dinilai polisi menghina presiden, ditangkap. Kalau sekarang itu menjadi delik aduan. Ini artinya kalau tidak ada yang mengadukan, enggak diproses dan enggak masalah," katanya.

Oleh karena itu, dirinya merasa heran adanya pihak-pihak yang mempermasalahkan atau tidak sepakat diusulkannya kembali pasal penghinaan terhadap presiden itu.

"Ini perlu saya jelaskan, pasal itu sudah ada sebelumnya, kok, sekarang diributkan. Kan zaman Pak Presiden SBY rencana UU KUHP itu sudah dimasukkan atau diusulkan juga, sudah dibahas di DPR, kok, sekarang jadi diributin," katanya.

Mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra meminta semua pihak untuk tidak salah pahami mengenai pasal penghinaan presiden yang masuk dalam RUU KUHP.

Pasal dalam RUU KUHP tersebut tidak sama dengan pasal penghinaan presiden seperti di dalam teks asli KUHP atau "Wetboek van Strafrecht" yang diberlakukan Belanda di negara jajahan.

Yusril menyebutkan bahwa dahulu memang ada pasal penghinaan presiden di dalam teks asli KUHP yang merupakan pasal-pasal penghinaan terhadap Ratu dan Gubernur Jenderal Belanda.

"Jadi, menghina Ratu Belanda itu pidana dan tidak perlu diadukan, sedangkan menghina orang biasa perlu pengaduan. Oleh karena itu, menyebabkan ketidaksetaraan setiap orang di dalam negara. Maka, MK kemudian membatalkan pasal itu," katanya. (Ant) BERSAMBUNG

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: