Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bedah Kontrak Komersial Sektor Migas

Warta Ekonomi -

WE.CO.ID - Permasalahan sektor minyak dan gas nasional selalu menjadi isu yang sangat menarik dibahas, baik sebagai komponen ekonomi makro, maupun ditinjau dari sisi mikro. Akan tetapi, hal yang jarang sekali dibahas adalah kontrak komersilnya. Buku ini membahas itu dengan bahasa yang mudah dipahami.

Indonesia merupakan negara yang pertama kali menerapkan sistem Production Sharing Contract (PSC)atau kontrak bagi hasil. Yakni, pada tahun 1966, ketika terjadi pergeseran pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Namun, dalam hal penguasaan tambang minyak dan gas dunia, dari dulu sampai saat ini masih dikuasai oleh tujuh perusahaan minyak dan gas internasional dari negara-negara maju, yang dikenal dengan nama “Seven Sisters”. Mereka adalah Esso, Gulf, Texaco, Chevron, Mobil, Shell, dan BP, yang sekarang makin mengerucut menyusul kolapsnya Gulf dan Texaco.

Penerapan kontrak bagi hasil (PSC) menjadi tren pengelolaan minyak di berbagai negara saat ini, selain konsesi (royalty/tax) dan service contract. Benny Lubiantara menjelaskan dengan sangat jelas hal tersebut dalam bab-bab awal buku Ekonomi Migas ini. Penjelasan jenis-jenis kontrak merupakan bagian dari pembabakan sejarah kontrak migas di Indonesia sejak zaman pasca kemerdekaan.

Buku ini sepintas seperti buku teori, namun, menggunakan bahasa sehari-hari sehingga mudah untuk dipahami. Buku ini terbit pertama kali pada November 2012. Pada Maret ini terbit sebagai cetakan kedua.

Buku ini juga menyajikan studi kasus paling baru. Dalam buku ini Benny juga mengutip sumber berita sebagai bentuk dinamika minyak dunia dalam keterkaitannya dengan kondisi keuangan negara. Secara lebih spesifik, buku ini juga menyebutkan nama-nama perusahaannya dengan jelas.

Pertamina sebagai perusahaan migas di Tanah Air, jika diperingkat berdasarkan cadangan minyak, menempati urutan ke-44. Besar cadangannya mencapai 1.505 juta barel dengan status sebagai perusahaan yang dimiliki oleh negara. Dibandingkan perusahaan-perusahaan migas di luar negara-negara maju sekalipun, Pertamina masih kalah jauh. The Financial Times memberikan label “The New Seven Sisters” kepada tujuh perusahaan migas berpengaruh baru di dunia yang berasal dari negara-negara berkembang seperti China National Petroleum Corporation (China), Gazprom (Rusia), National Iranian Oil Company (Iran), Petrobras (Brazil), PDVSA (Venezuela), Petronas (Malaysia), dan Saudi Aramco (Saudi Arabia).

Pasang surut hubungan Indonesia dan IOC

Ketika harga minyak turun, International Oil Company (IOC) atau perusahaan minyak global cenderung mengurangi investasi. Padahal, dari sisi pemerintah, pemerintah berupaya mempertahankan aktivitas investasi di sektor hulu. Oleh sebab itu, berbagai insentif dikeluarkan agar investasi tersebut makin bertambah dengan mengenakan berbagai macam instruksi fiskal.

Kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan IOC mengalami pasang surut. Dalam perjalanannya tidak jarang terjadi kesalahpahaman dan silang sengketa. Dalam hal ini, kontrak menempati urutan permasalahan utama.

Dari sisi perusahaan migas, isu pengenaan pajak atas diperolehnya rezeki nomplok dari lonjakan harga minyak dan gas tentu saja tidak popular. IOC akan berargumen bahwa ketika harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan, maka itu selalu diikuti dengan kenaikan biaya-biaya eksplorasi dan produksi. Namun demikian, buku ini mengungkapkan sebenarnya pengaruh kenaikan harga minyak jauh lebih besar dari kenaikan biaya, sehingga perusahaan minyak tetap mengalami kenaikan keuntungan yang besar akibat naiknya harga minyak.

Buku ini sangat layak dibaca oleh berbagai kalangan. Bahkan, oleh LSM yang biasa menyuarakan perdebatan stop penghapusan subsidi minyak. Buku ini membahas nilai keekonomian migas, dengan melihat dari sudut pandang kontraknya.

Sejarah menunjukkan fenomena nasionalisasi aset perusahaan minyak asing terkait dengan kecenderungan kenaikan harga minyak. Krisis minyak 1973 yang berakibat harga minyak melambung diikuti oleh gelombang nasionalisasi perusahaan minyak internasional, seperti terjadi di Kuwait, Venezuela, Aljazair, Qatar, Nigeria, dan Libya. Proses nasionalisasi di Saudi Arabia sedikit lebih lambat, sementara revolusi di Iran tahun 1979 mendorong terjadinya nasionalisasi sektor migas di negara tersebut.

Buku ini seperti oase untuk memahami permasalahan migas di Tanah Air. Karena, meski terlihat sangat logis, pengelolaan sektor migas sangat kental dengan nuansa politik. Faktanya, masyarakat selalu meminta kecenderungan harga murah dengan adanya subsidi. Padahal, semakin besar subsidi, maka beban keuangan pemerintah akan semakin berat karena harga migas mengikuti perkembangan harga dunia. Jadi, pengelolaan migas tidak pernah terlepas dari kebijakan yang sangat politis. Namun, melalui buku ini, paling tidak, sektor migas dapat dilihat secara lebih objektif. ###

JAJANG YANUAR HABIB


Judul : Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas
Penulis : Benny Lubiantara
Penerbit : PT Grasindo
Tahun Terbit : Cetakan kedua Maret 2013
Jumlah Halaman : 260 halaman

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhamad Ihsan

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: