Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengamat Anjurkan Pemerintahan Baru Lanjutkan Konsolidasi Perbankan

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Pengamat perbankan Reagy Sukmana menganjurkan pemerintah baru yang terpilih nanti dapat melanjutkan proses konsolidasi perbankan, salah satunya dengan akuisisi BTN oleh Mandiri yang saat ini ditunda.

"BTN dikonsolidasikan dengan Bank Mandiri akan membuat struktural BTN menjadi kuat untuk terus terfokus pada segmen KPR, khususnya KPR bersubsidi. Sedangkan Bank Mandiri akan bisa meningkatkan kredit retailnya dan terus membantu ekspansi kredit ritel lebih masif," ujar Reagy di Jakarta, Rabu (9/7/2014).

Dengan begitu, lanjut Reagy, segmen KPR subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bisa tetap dipegang oleh BTN dan KPR non subsidi untuk masyarakat menengah atas dikelola oleh Bank Mandiri. Menurutnya, itu skema yang akan saling menguntungkan kedua belah pihak.

"Tinggal good willing (niat baik) dari pemerintah sebagai pemegang saham," kata Reagy.

Backlog perumahan yang mencapai 15 juta unit pada tahun ini sendiri diprediksi terus bertambah setiap tahunnya jika konsolidasi perbankan tidak dilakukan.

Hal ini karena segmen MBR semakin sulit mengakses kredit perumahan, seiring makin ketatnya regulasi pemerintah atas kebutuhan perumahan, seperti kenaikan suku bunga, kebijakan loan to value/LTV, dan penghapusan FLPP bagi rumah tapak.

Di tengah kondisi makro seperti itu, kata Reagy, Indonesia seharusnya mempunyai bank yang kuat untuk mengatasi permasalahan ini. Akan tetapi, pada kenyataannya, BTN yang diharapkan bisa mengatasi permasalahan ini secara struktural tidak begitu baik.

Berdasarkan laporan keuangan BTN pada kuartal I 2014, kuantitas kreditnya tumbuh 20,24 persen, namun kualitas kreditnya memburuk.

"Kita bisa melihat dari NPL sebesar 4,7 persen atau sekitar Rp 4,7 triliun, ada kenaikan hampir Rp 800 miliar dari data akhir tahun lalu. Kredit perumahan dan komersial merupakan penyumbang NPL tertinggi bagi BTN," kata Reagy.

Reagy menambahkan, dengan rasio LDR mencapai 100,5 persen, jauh di atas batas atas yang ditetapkan Bank Indonesia sebesar 92 persen, BTN harus menghadapi tingginya beban biaya pendanaan akibat besarnya dana mahal yang mencapai sekitar 58 persen. Selain itu, BTN acap kali harus menerbitkan obligasi dengan bunga lebih tinggi dari deposito.

"Tak heran jika cost of fund-nya tinggi. Jadi wajar saja jika suku bunga dasar kredit BTN cenderung tinggi dibandingkan dengan kompetitornya," ujar Reagy.

Menurut Reagy, BTN sudah menyimpang dari tujuan awalnya yang diamanatkan pemerintah fokus memberikan KPR subsidi untuk kalangan MBR. Pada 2009, porsi KPR bersubsidi masih mencapai 60 persen, namun per kuartal I-2014 menyusut menjadi 43 persen. Sebaliknya, KPR non-subsidinya pada periode sama meningkat dari 39,54 persen menjadi 57 persen.

"Sulit dipercaya penghapusan FLPP rumah tapak tidak akan membawa dampak signifikan bagi BTN mengingat 95 persen FLPP saat ini ditopang (BTN). Dengan begitu, bisa diprediksi tahun depan porsi KPR subsidi BTN akan semakin menyusut dan tentu pangsa pasarnya akan tergerus. Dengan begitu, kalangan masyarakat berpenghasilan rendahlah yang kesusahan dan backlog perumahaan makin sulit terselesaikan," ujar Reagy.

Sementara itu, pengamat perbankan lainnya Edwin Sinaga mengatakan, dengan backlog perumahan sebanyak 15 juta unit rumah dan harga rumah diasumsikan Rp 200 juta, maka kebutuhan dana untuk bisa memenuhi keseluruhan backlog mencapai Rp 3.000 triliun. Bagi bank, agar bisa berkontribusi membiayai backlog membutuhkan likuiditas berupa dana pihak ketiga maupun permodalan yang kuat, agar rasio kecukupan modal (CAR) tidak semakin tergerus.

"Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bisa menjadi sumber likuiditas, tapi aspek permodalan BTN juga harus dipikirkan oleh pemerintah. Apakah APBN bisa terus diandalkan untuk memperkuat modal Bank BTN atau perlu dipikirkan menggunakan modal dari bank BUMN lain," kata Edwin.

Ia menilai, Bank Mandiri pun tidak akan bisa membiayai kebutuhan pembiayaan hingga Rp3 triliun tersebut.

Mesti riil, isu akuisisi waktu dulu sebetulnya untuk menyelesaikan masalah permodalan BTN dan tidak mesti mengandalkan pemerintah lagi, ujar Edwin. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: