Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengamat Desak Pemerintah Tolak Perpanjangan Kontrak Freeport

Warta Ekonomi -

WE Online, Manado - Pengamat Ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi Manado Agus Tony Poputra mendesak pemerintah untuk berani menolak perpanjangan kontrak PT Freeport di Indonesia. Hal itu dinilai sebagai wujud ketegasan pemerintah yang tidak tersandera oleh kepentingan perusahaan tambang.

“Perpanjangan MOU pemerintah dengan Freeport memperlihatkan pemerintah telah tersandera oleh kepentingan perusahaan tambang tersebut,” ujar Tony dalam siaran persnya, di Manado, Kamis (29/01/2015).

Menurut Poputra, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara jelas telah mengamanatkan larangan ekspor bahan tambang mentah. Itu telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2013 yang efektif berlaku awal tahun 2014.  Akibatnya, kata dia, banyak perusahaan tambang menghentikan kegiatannya dan menjadi dorongan bagi beberapa perusahaan telah membangun pabrik smelter agar dapat mengekspor produk lanjutan.

Poputra menjelaskan, sesungguhnya ekspor bahan mentah sangat merugikan Indonesia. Selain kehilangan peluang lapangan kerja tambahan, kerugian ekonomis lain juga sangat besar. Nilai produk sampingan dari proses lanjutan bahan tambang banyak yang benilai tinggi namun di sisi lain nilai ekspor bahan mentah tambang itu sendiri umumnya rendah. "Oleh sebab itu, penerimaan negara lewat pajak dan royalty relatif rendah dan negara lain menikmati nilai tambah dari proses lanjutan serta produk sampingan," papar Poputra.

Sayangnya, kata Poputra, Freeport sebagai perusahaan tambang yang paling banyak menikmati sumber daya tambang Indonesia justru menunda pembangunan pabrik smelter. Bahkan Freeport, ujarnya, meminta keistimewaan melakukan ekspor dalam bentuk konsentrat "Hingga saat ini, belum ada aksi nyata dari perusahaan tersebut untuk membangun smelter," ucap Poputra lagi.

Poputra menerangkan, dalam konteks pertambangan, sesungguhnya pemerintah memiliki bargaining position yang lebih kuat dibanding perusahaan tambang. Sifat bahan tambang umumnya, kata dia, bernilai relatif tinggi dan tidak tersebar merata di seluruh dunia. Oleh sebab itu, Indonesia sebagai Negara yang kaya bahan tambang mineral tetap menjadi incaran perusahaan tambang. "Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tunduk terhadap tekanan  perusahaan tambang," tandas Poputra.

Poputra mengingatkan, bahwa bahan tambang adalah sumber daya yang tidak terbaharukan. Sehingga pemberian penundaan bagi perusahaan untuk membangun pabrik pengolahan sangatlah berbahaya. Itu seakan memberi kesempatan kepada mereka untuk menghabiskan secepatnya deposit tambang.

Setelah deposit tambang menipis, lanjut Poputra, maka larangan ekspor bahan tambang mentah tidak berguna sama sekali bagi Indonesia. Karena investor tambang akan angkat kaki dan meninggalkan kemelaratan dan masalah lingkungan di masa mendatang. "Kondisi ini yang disebutkan dengan "Kutukan Sumber Daya Alam," sebagaimana dialami kebanyakan Negara di Afrika," tambah Poputra.

Mengenai tarik ulur lokasi pabrik smelter Freeport, ujar Poputra, apakah di Papua atau Jawa Timur haruslah dilihat dari perspektif keadilan atas nilai tambah. Pasalnya, keadilan nilai tambah tidak sekedar dilihat dari sudut pandang Indonesia dan luar negeri, namun juga antar daerah di Indonesia.

Selama ini, papar dia, industri pengolahan terkonsentrasi di Pulau Jawa sehingga nilai tambah dinikmati di sana. Di sisi lain, daerah di luar Jawa sebagian besar hanya hidup dari menjual bahan mentah. Dengan pembangunan smelter di Jawa Timur akan memperlebar kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa.

Selain itu, masih menurut Poputra, pembangunan smelter di Jawa Timur akan membawa masalah mengenai limbahnya mengingat Jawa Timur merupakan daerah yang padat penduduknya "Oleh sebab itu, Poputra mendukung pendapat DPR agar smelter Freeport dibangun di Papua. Untuk itu, pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah yang lebih bijak untuk menciptakan keadilan antar wilayah di Indonesia," tandas Poputra.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Achmad Fauzi
Editor: Achmad Fauzi

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: