Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketidakpastian Makin Panjang, Dibutuhkan Sikap Tenang

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Pelaku pasar keuangan global kembali dibuat khawatir dengan keputusan The Federal Reserve Bank atau The Fed, bank sentral Amerika Serikat, yang pada  17 September lalu tidak menaikkan suku bunga acuannya. Dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC), otoritas moneter AS memutuskan untuk mempertahankan suku bunga di rentang 0%-0,25% yang ditetapkan sejak Desember 2008. Hanya saja, FOMC sempat berencana menaikkan suku bunga acuan pada akhir tahun ini.

Meski bank sentral AS cukup optimistis mengenai perekonomian AS, Ketua The Fed Janet Yellen mengakui perlambatan ekonomi global dan pasar saham yang volatil sebagai alasan untuk menunggu kenaikan suku bunga. Di mata Yellen, kecemasan mengenai pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan ekonomi emerging market lainnya menyebabkan pergerakan liar pada pasar finansial.

Yellen memandang bahwa situasi global bearish dan harus menjadi kewaspadaan. Pernyataan tersebut dapat diartikan sebagai dovish atau pendekatan hati-hati The Fed terkait waktu pelaksanaan kenaikan suku bunga acuan dari level nol persen.

Namun, beberapa hari kemudian, muncul pernyataan-pernyataan kontradiktif dari sejumlah presiden The Fed yang cenderung hawkish atau ingin menaikkan suku bunga acuan secepatnya. Tak pelak, investor pasar saham berupaya keras memahami alasan di balik keputusan The Fed untuk menahan suku bunga acuan, Fed Fund Rate (FFR), pada 17 September lalu dan sekaligus memprediksi kapan tepatnya suku bunga AS akan dinaikkan.

Pasalnya, pada 19 September, atau dua hari pasca-pidato Yellen, Presiden The Fed San Francisco John Williams mengatakan keputusan untuk menaikkan suku bunga acuan makin dekat. Hal itu berlawanan dengan pernyataan resmi The Fed, yang menunjukkan 9 dari 10 anggota The Fed menolak kenaikan suku bunga.

Satu-satunya yang tak menolak adalah Jeffrey Lacker, Presiden The Fed Richmond, yang ingin agar The Fed segera mengerek suku bunganya. Williams berpendapat kinerja ekonomi AS tidak dijamin oleh suku bunga yang mendekati level nol persen. Dia menilai perekonomian AS sudah jauh lebih baik dibanding masa-masa suram pada akhir 2009. Saat ini, perekonomian AS berada di masa yang sangat berbeda dibanding saat pertama kali negara tersebut memberlakukan kebijakan akomodatif yang sangat ekstrem.

Lalu, pada 21 September, ternyata Williams bukan satu-satunya orang yang mengeluarkan pernyataan berlawanan dengan Yellen. Presiden The Fed St. Louis Bullard juga setuju agar bank sentral AS segera menaikkan suku bunganya. Menurut dia, ada kasus besar di mana ini saatnya untuk menormalisasi suku bunga. Bullard merasa, sekarang saatnya untuk bergerak. Pada hari yang sama, Presiden The Fed Atlanta Andrew Lockhart menyebut besar kemungkinan suku bunga akan naik pada tahun ini selama pasar saham tak bergejolak.

Memperpanjang Ketidakpastian
Hasil pertemuan FOMC pada Rabu (16/9/2015) diyakini makin memperpanjang ketidakpastian yang akan membawa dampak pada sistem keuangan global. Pasalnya, sejak tahun lalu pelaku pasar dan otoritas moneter di seluruh dunia memantau dengan cermat kapan The Fed mengakhiri rezim bunga mendekati nol persen tersebut.

Pada awalnya The Fed akan menormalisasi kebijakan moneternya lantaran kondisi ekonomi AS yang membaik, yang antara lain ditandai aktivitas ekonomi tumbuh dalam tingkat moderat, belanja rumah tangga dan investasi juga meningkat secara moderat, dan sektor perumahan juga makin membaik. Selain itu, kondisi ketenagakerjaan di AS juga terus membaik, yang terindikasi dari peningkatan lapangan kerja dan menurunnya pengangguran.

Meski demikian, peluang The Fed untuk merealisasikan rencana kenaikan suku bunga pada tahun ini masih terbuka. Sebab, FOMC diagendakan menggelar dua kali pertemuan pada Oktober dan Desember mendatang. Langkah The Fed mengirim sinyal kenaikan suku bunga merupakan rangkaian dari kebijakan tapering off, yaitu menarik kembali likuiditas yang sempat dipompakan ke sistem keuangan sebagai upaya memulihkan perekonomian AS dari dampak krisis keuangan 2008.

Kebijakan tapering off itu diambil setelah perekonomian AS menunjukkan indikasi perbaikan. Dengan latar belakang tersebut, tak bisa dimungkiri, kebijakan moneter di seluruh dunia dan kinerja indikator kunci (leading indicator) di sistem keuangan, seperti pergerakan nilai tukar mata uang dan indeks harga saham, sangat dipengaruhi oleh kebijakan The Fed.

Pada saat The Fed memutuskan untuk tidak menaikkan suku bunga acuannya, pemerintahan di kawasan regional bisa mengembuskan sedikit napas lega. Namun, rasa lega itu tak bertahan lama. Pasalnya, menurut HSBC Holdings Plc, kenaikan suku bunga AS memiliki sejumlah dampak negatif bagi Asia. Sebut saja pelemahan lebih dalam atas mata uang Asia, biaya utang akan lebih tinggi bagi korporasi dan individu, tingkat permintaan akan menyusut, hingga akhirnya pertumbuhan ekonomi ikut terganggu.

HSBC Holding menjelaskan tingkat konsumsi dan investasi dikerek oleh utang. Dan,  tingkat utang ini bisa terpangkas saat suku bunga AS dinaikkan. Diprediksikan, kebijakan apa pun yang akan diambil oleh The Fed, perekonomian Tiongkok akan mampu bertahan. Sementara itu, perekonomian Malaysia diragukan.

Sebagai catatan, sepanjang tahun ini, yuan sudah melemah sekitar 2,6% versus dolar AS. Adapun ringgit Malaysia melemah hingga 18%. Ini merupakan pelemahan terbesar di antara 11 mata uang Asia yang paling sering ditransaksikan. Malaysia merupakan salah satu negara yang sangat rentan mengingat pelemahan terbesar pada mata uangnya dan tingginya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Hal ini akan menyebabkan Malaysia harus memperketat kondisi finansialnya sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Berdasarkan data Bank for International Settlements (BIS), proporsi kredit atas sektor swasta non-finansial terhadap PDB Malaysia naik menjadi 135% pada kuartal pertama dari 115% pada periode yang sama 2009. Sementara itu, penyesuaian suku bunga di Tiongkok pada Agustus lalu dan terjadinya capital outflow kemungkinan akan memperketat kondisi keuangan di negara ini.

Meski demikian, harus dipastikan apakah pelonggaran kebijakan oleh bank sentral Tiongkok, People Bank of China (PBOC), dan pengontrolan modal memiliki keterkaitan dengan pergerakan mata uang dan kondisi pendanaan di Tiongkok. Untuk diketahui, PBOC sudah memangkas suku bunga acuannya sebanyak lima kali sejak November tahun lalu. Bank sentral Tiongkok juga sudah menurunkan proporsi deposito bank yang harus disediakan sebagai cadangan (rasio giro wajib minimum/GWM) di bank sentralnya sebagai upaya mengerek kredit dan menghindari perlambatan ekonomi yang lebih parah.

Harus Tetap Optimistis

Namun, yang pasti, keputusan The Fed menunda kenaikan suku bunga (FFR) sedikit banyak di luar ekspektasi pelaku pasar dan otoritas moneter di dunia. Sejatinya, yang sangat diharapkan adalah The Fed segera merealisasikan rencananya. Sebab, langkah itu diyakini akan mengurangi tekanan ketidakpastian dan juga ruang spekulasi, terutama di pasar uang dan pasar saham di emerging economies, termasuk Indonesia.

Bagi otoritas moneter, yakni Bank Indonesia (BI), kenaikan FFR memberi kepastian untuk melakukan penyesuaian kebijakan moneter di Tanah Air. Apalagi saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah menyentuh level Rp14.600-an per dolar AS, yang dianggap telah melampaui nilai fundamentalnya (overshoot).

Sepanjang tahun ini (year to date), kurs rupiah terhadap mata uang jangkar dunia tersebut telah terkoreksi sekitar 16%. Bahkan, sepanjang Agustus dibandingkan Juli sebelumnya (month to month), rupiah terdepresiasi cukup besar, mencapai 2,9%. BI sendiri menyadari bahwa sumber utama tekanan terhadap rupiah adalah ketidakpastian kenaikan suku bunga The Fed.

Melihat kondisi rupiah yang berpotensi terus terdepresiasi entah sampai kapan, tentu membuat BI kembali harus bertempur dengan tekanan spekulasi di tengah perlambatan ekonomi sebagai acuan fundamentalnya. Maka, wajar jika kalangan industri keuangan berharap kenaikan FFR tak perlu menunggu terlalu lama lagi.

Meskipun dewasa ini ada kekhawatiran berlebihan bahwa kenaikan FFR tersebut bakal menarik kembali investasi portofolio ke dalam negeri AS, tetapi ada kesempatan bagi otoritas moneter emerging economies untuk merumuskan kembali penyesuaian kebijakan moneternya, sehingga kurs mata uangnya bisa bergerak sesuai dengan nilai fundamentalnya. Apalagi tekanan spekulasi dengan sendirinya juga makin mereda.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa penundaan kenaikan FFR oleh The Fed justru menyandera banyak pihak. Tak hanya otoritas moneter, otoritas fiskal dan dunia usaha juga menghadapi ketidakpastian yang kian panjang. Padahal, pemerintah dan pengusaha membutuhkan kepastian yang bisa menjadi rujukan untuk menyusun kembali strategi pembangunan dan langkah bisnisnya, menyesuaikan dengan lingkungan moneter yang dihadapi.

Terlepas dari keputusan The Fed yang cenderung selfish tersebut, pemerintah dan otoritas keuangan domestik serta kalangan dunia usaha nasional harus tetap optimistis mencari celah di tengah situasi ketidakpastian ini. Bagaimanapun, Indonesia masih menjadi tujuan investasi yang prospektif di mata investor asing.

Sebuah keputusan yang tepat dan brilian ketika sehari sebelum FOMC memutuskan menahan FFR, BI sudah terlebih dahulu menahan level BI Rate tetap 7,5% yang berarti jauh di atas level FFR yang mendekati nol persen. Artinya, investor global lebih beruntung menanamkan dananya di Indonesia (dalam rupiah) dibandingkan di AS (dalam dolar AS). Bahkan, jika The Fed merealisasikan kenaikan suku bunganya, yang diprediksi maksimal 0,5%, maka FFR tersebut hanya sebesar 0,75%, atau sepersepuluh dari BI Rate.

Hanya saja, untuk mencapai skenario di atas, pemerintah harus mampu mewujudkan iklim investasi yang kondusif, baik investasi langsung maupun investasi di portofolio, terutama melalui paket kebijakan September Jilid I dan Jilid II yang keluar pada September dan Oktober ini.

Pemerintah juga harus segera membenahi berbagai kelemahan yang menghambat investasi, baik dari aspek regulasi perizinan, tata kelola birokrasi, infrastruktur dasar, maupun  aspek-aspek lainnya. Jika hal itu bisa diwujudkan, bangsa ini tak perlu khawatir dan panik dengan apa yang terjadi saat ini.

Catatan Akhir

Sebagai catatan penutup, tahun ini perekonomian dunia dan Indonesia memang bergerak melambat. Ketidakpastian yang dipicu rencana kenaikan FFR dan devaluasi yuan secara agresif pada 11 Agustus lalu menambah tekanan ekonomi, terutama di sektor riil.

Pemerintah dan otoritas keuangan domestik tidak tinggal diam. Pada 9 September lalu, pemerintah menggelontorkan paket kebijakan ekonomi tahap pertama. Instrumen utamanya adalah deregulasi kebijakan dengan fokus pada industri dan perdagangan. Sifatnya jangka menengah dan jangka panjang.

Kini tengah dinanti keluarnya paket tahap kedua, yang melengkapi paket tahap pertama.  Harapannya, kedua paket ini mampu menjawab kebutuhan dan tuntutan sektor riil, terutama dalam menekan potensi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor. Tugas pemerintah adalah membuat kebijakan yang seramah mungkin terhadap investor untuk menjaga pelemahan pertumbuhan ekonomi dan sekaligus menurunkan volatilitas rupiah.

Sumber: Majalah Warta Ekonomi Edisi 19

Penulis: Ryan Kiryanto, Chief Economist BNI

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: