Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Hasil Penelitian Harvard Soal Korban Karhutla Capai 100 Ribu Jiwa Hanya Sensasi Murahan

Oleh: ,

Warta Ekonomi, Jakarta -

Terkait Hasil penelitian TH Chan dari Harvard yang mengatakan akibat dampak kebakaran hutan dan lahan pada tahun (2015) telah menelan korban sebesar 100 ribu jiwa se-Asia Tenggara merupakan isu murahan yang menunjukan tingkat kepanikan dan brutanya Amerika Serikat (AS) dalam menyerang Indonesia lewat isu-isu lingkungan.

Pengamat kehutanan dan lingkungan Ricky Avenzora memaparkan, “Penelitian itu juga menjadi indikator penting tentang semakin hilangnya integritas akademisi dalam percaturan konspirasi ekonomi global,” katanya di Jakarta, Senin, (26/9/2016). 

Ricky menilai, angka sekitar 100 ribu korban meninggal yang dilaporkan peneliti Harvard bukan hanya hiperbolis dan sensasional , tetapi sulit dipertanggujawabkan kebenarannya.  

Adanya fakta yang bersifat co-incidently berupa kematian penduduk dalam periode Karhutla 2015 merupakan fakta yang tak bisa dinafikan. Hanya saja, penyebab kematian perlu dibedakan antara kematian alami, kematian yang bersifat kausalitas, dan kematian yang bersifat korelitas. 

Pendapat senada dikemukakan Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor Dr Dodik Ridho Nurrochmat, Menurut Dodiek, penelitian tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan karena tidak memiliki indikator yang jelas dan cenderung mengada-ngada.

“Kalau karhutla sebelumnya, bisa berdampak pada kematian 80 ribu atau 90 ribu orang itu masuk akal. Jangan juga kematian akibat sebab lain yang tidak berhubungan dikaitkan dengan karhutla. Ini lebih mirip kampanye hitam dibandingkan peneilitian akademisi.” tambah Dodik.

Ricky yang jmerupakan Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB menambahkan, Indonesia perlu menantang balik mereka untuk menunjukan validitas dan reliabilitas metode yang dipakai dalam mengambil kesimpulan tersebut. 

“Kita juga mempertanyakan motif Harvard yang menimpakan 100-ribu kematian di Asia Tenggara  selama tahun 2015 sebagai akibat Karhutla di Indonesia tahun  2015. Dari sini, kita bisa mengenali siapa para akademisi, “produser" serta "sutradara" dari sandiwara serta kebodohan akademis yang mereka lakukan untuk memojokan Indonesia itu." keras Ricky.

Sekedar tahu, mengutip www.sipongi.menlhk.go.id, intensitas Karhutla 2015 dalam segi menunjukan bahwa total luas kebakaran hutan di Indonesia selama 2015 hanyalah 2,61 juta  hektar. Angka tersebut jauh lebih rendah dari data-data luasan Karhutla di Canada yang mencapai 4,6 juta hektar) serta Karhutla di Amerika Serikat yang mencapai 10,12 juta hektar. 

Ricky mengingatkan, Karhutla 2015 harus disebut sebagai global-disaster akibat El-Nina yang terjadi di seluruh dunia. Sedangkan lonjakan angka kebakaran di Indonesia menjadi 2,6 juta hektar jauh lebih rendah dari angka rata-rata Karhula di Amerika tiap tahun  yang mencapai 4,35 juta hektar. Karena itu, penelitian akademisi Harvard itu bukan saja patut kita pertanyakan motifnya, melainkan bisa dikategorikan sebagai perbuatan tak terpuji.

Lanjut Ricky, kegaduhan kampanye hitam tentang Karhutla 2015 di Indonesia yang dilancarkan USA beserta sekutu dan jaringan LSM-hipokrit ibarat  perbuatan "jeruk teriak jeruk" semata. Di satu sisi, kita tidak perlu merasa aneh, karena hal itu adalah memang bagian dari serangkaian sifat hipokrit,  serta merupakan modus agitasi kuno dalam konspirasi dagang internasional. 

Namun di sisi lain, yang patut kita pertanyakan adalah mengapa banyak pemimpin dan anak negeri kita yang (maaf) begitu "bodoh" dan ketakutan serta tak berdaya dalam menghadapi agitasi serta kampanye hitam tersebut.

“Jangankan melawan dan mencegah. Jika diperhatikan berbagai komentar birokrat atas pemberitaan itu, banyak  logika dan kalimat yang disampaikan i tidak memiliki marwah untuk tegak membela bangsa dan negara. Ini sungguh miris." tutupnya.

 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Advertisement

Bagikan Artikel: