Setelah mantan gubernur Bantan Ratu Atut Chosiyah dan Gubernur Sumatera Utara nonaktif Gatot Pudjo Nugroho menjadi "makanan empuk" Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maka kini tiba giliran Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam menjadi "sasaran tembak" lembaga antirasuah itu karena diduga memiliki rekening bank yang jumlahnya tidak kurang dari Rp40 miliar.
Wakil Ketua KPK La Ode dalam berbagai kesempatan telah menyatakan pejabat tinggi di Sulawes Tenggara itu telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi perizinan pertambangan nikel itu di Kabupaten Bombana dan Buton.
Dalam kasus ini, Nur Alam diduga menerima suap sekitar Rp40 miliar untuk kurun waktu tahun 2009-2014.
Dalam kasus ini, Nur Alam telah memiliki banyak aset termasuk rumah di ibu kota Jakarta dan sejumlah harta kekayaan lainnya.
Sebelumnya, Ratu Atut dianggap telah terlibat dalam berbagai kasus penyalahgunaan wewenangnya termasuk bagi pembangunan berbagai proyek pembangunan yang membuat orang terperangah karena nilainya mencapai miliaran rupiah.
Sementara itu, Gatot Pudjo Nugroho disangkakan telah menyuap para anggota DPRD Sumatera Utara demi kepentingannya sendiri.
Korupsi demi korupsi yang dilakukan ketiga pejabat tinggi tingkat provinsi itu juga diikuti oleh beberapa pejabat daerah mulai dari bupati dan wali kota hingga para wakil rakyat yang sebenarnya sudah sangat menikmati "empuknya kursi" jabatan mereka mulai dari uang jabatan, honor perjalanan hingga keberhasilannya memberikan sejumlah proyek kepada segelintir pengusaha.
Jika masyarakat merenungkan kasus Nur Alam, maka angka Rp40 miliar yang diduga keras dimiliki sang gubernur itu, maka ada berbagai perkiraan hingga kecurigaan terhadapnya.
Walau masyarakat harus memegang prinsip praduga tak bersalah, maka bagaimana mungkin seorang pejabat menguasai harta yang begitu besar.
Gaji seorang gubernur yang ditambah berbagai tunjangan yang dinikmatinya setiap bulan paling-paling hanya sekitar Rp20 juta/bulan. Dia harus makan minum bersama istri dan anak-anaknya sehingga pasti uang yang dikantonginya pasti akan berkurang.
Karena itu, kalau pendapatan resmi seorang gubernur sekitar Rp20 juta hingga Rp30 juta maka sisa uang yang ditabungnya pasti tinggal beberapa juta rupiah lagi.
Jadi pertanyaan yang muncul pada benak rakyat adalah dari mana uang puluhan miliar rupiah itu yang dikantonginya? Mengacu kepada kasus pertambangan nikel itu, orang bisa membayangkan perusahaan pertambangan ini pasti sudah bisa menerka bahwa mereka bisa meraup keuntungan puluhan miliar rupiah dari bisnis pertambangan itu.
Namun mereka tentu tahu bahwa mendapatkan izin dari pejabat daerah tidaklah mudah karena akan ada saingan-saingan mereka yang juga merupakan pemodal-pemodal besar sehingga bakal terjadi persaingan sengit.
Karena itu, para pengusaha harus "bermain mata" dengan pejabat-pejabat setempat seperti gubernur, bupati atau wali kota, pejabat dinas energi dan sumber daya mineral, dinas hukum hingga berbagai instansi lainya.
Sementara itu, bisa diperkirakan bahwa para penguasa itu sangat paham atau tahu bahwa tak ada yang gratis di negara tercinta ini termasuk izin-izin bagi para pengusaha.
Sebuah lelucon atau anekdot menyatakan "kalau bisa dipersulit maka mengapa segala sesuatunya harus digampangkan". Karena itu, jika orang harus mengurus surat izin mengemudi atau SIM atau kartu tanda penduduk alias KTP tetap saja ada pungutan liar atau tak resmi.
Baru-baru ini seorang warga ingin mengurus surat pindah di Jakarta dari Tangerang. Maka dia "ditembak" petugas kelurahan dengan kewajiban harus menyetor tidak kurang dari Rp250.000. Sebuah angka yang fantastis atau luar biasa hanya untuk mengurus KTP.
Jadi bisa dibayangkan untuk soal KTP yang "remeh" saja seorang warga harus membayar ratusan ribu rupiah maka apalagi maka lagi kalau seorang pengusaha harus mengurus izin pertambangan yang nilainya keuntungannnya mencapai puluhan atau bahkan ratusan miliar rupiah.
Kapan diberantas? Sekalipun Nur Alam baru ditetapkan sebagai seorang tersangka oleh KPK dan belum lagi menjadi terdakwa yang kemudian menjadi terpidana, bahkan kalau perlu masuk ke tingkat banding, kasasi hingga peninjauan kembali atau PK maka bisa dibayangkan betapa panjang dan lamanya kasus hukum ini jika sampai masuk ke dunia pengadilan mulai dari tingkat pengadilan tindak pidana korupsi hingga PK.
Akan tetapi, pertanyaan yang sangat atau paling mendasar adalah kapankah kasus-kasus penyalahgunaan jabatan oleh penyelenggara negara bisa dihapuskan sama sekali atau sedikitnya bisa dikurangi? Karena sejak Joko Widodo menjadi Presiden yang salah satu janjinya adalah melakukan revolusi mental maka tentu seluruh masyarakat berhak menuntut atau mendesak atau revolusi mental terutama di kalangan penyelenggara negara khususnya pejabat pusat dan daerah bisa digelorakan tanpa henti- hentinya sehingga akhirnya penyuapan atau istilah kerennya gratifikasi bisa dihapuskan sama sekali dari bumi tercinta Indonesia ini.
Hal yang harus diupayakan pemerintah adalah mulai dari paling bawah mendasar adalah bagaimana mengangkat atau merekrut pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta Kepolisian Republik Indonesia alias Polri tanpa uang sogok satu rupiah pun.
Sampai detik ini, pada hampir pada semua instansi pemerintah, terjadi proses penyogokan jika ingin menjadi pegawai negeri sipil, anggota TNI dan Polri. Sekalipun para pejabat pemerintah seringkali menyangkal atau membantah kasus "uang sogok masuk ini" hampir semua calon pegawai negri bisa bercerita soal ini.
Kalau mereka harus "menyetor" maka pada orang mereka adalah kalau sudah menjadi pegawai pemerintah adalah bagaimana mencari uang sebanyak-banyaknya supaya bisa "kembali modal". Jika sudah bisa mengembalikan "modal" maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana "mencari untung".
Jika pola ini tidak dihilangkan maka bagaimana mungkin korupsi bisa dihapus dari Tanah Air tercinta ini.
Sementara itu, di tataran politik, maka jika ada orang paling berambisi menjadi wakil rakyat di DPR, DPD atau DPRD, maka tentu bisa dibayangkan betapa besarnya "modal dasar" yang diperlukan.
Kalau yang bersangkutan sudah sukses menjadi wakil rakyat maka pada pikirannya adalah bagaimana bisa duduk lagi di DPR,DPD dan DPRD yang berikutnya lagi yang sudah pasti "makin empuk".
Jadi tentu masyarakat berhak minta kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla agar segera mengambil langkah-langkah konkret atau nyata agar upaya pengikisan korupsi atau penyalahgunaan jabatan atau wewenang mulai segera dilaksanakan.
Tentu disadari bahwa upaya itu sama sekali tidak mudah karena pasti akan memakan waktu yang lama atau panjang karena situasi yang sudah sangat ruwet.
Kalau langkah-langkah pemberantasan korupsi tidak segera dimulai dengan tindakan nyata maka bisa dipastikan upaya menghapus penyalahgunaan wewenang itu hanya bersifat " jalan di tempat" alias tidak ada kemajuan yang nyata.
Beban kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia akan terus bertambah sehingga pemerintah pusat dan daerah akan mengambil langkah-langkah nyata agar kehidupan masyarakat bisa semakin berkurang dan pemerintah jugalah yang akan menikmatinya. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: