Bank Indonesia telah menyiapkan sejumlah langkah untuk meminimalkan risiko tekanan terhadap nilai tukar Rupiah sebagai dampak kebijakan The Fed yang diprediksi melakukan normalisasi suku bunga pada Desember 2016.
"Tentu ini akan memiliki dampak ke semua negara termasuk Indonesia, salah satu kemungkinannya adalah menguatnya dolar AS. Kami tentu sudah mempersiapkan hal itu kalau ada tekanan kami akan melakukan hal-hal untuk memitigasi risiko," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia, Hendar usai membuka seminar internasional bertajuk "Isu, tantangan, dan dinamika perubahan global dalam keuangan bank sentral yang digelar BI dan beberapa bank sentral Asia Tenggara (SEACEN) di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali.
Antisipasi dari bank sentral, lanjut dia, perlu dilakukan karena kebijakan dari bank sentral Amerika Serikat itu ditunggu-tunggu pelaku pasar di seluruh dunia sebagai indikator perekonomian global.
BI, kata dia, akan melakukan pengamatan yang terukur apabila nilai tukar Rupiah mengalami penguatan demikian juga apabila terjadi pelemahan, maka bank sentral akan memastikan pelemahannya juga terukur.
"Kami memiliki model-model berapa Rupiah yang konsisten untuk mencapai tujuan seluruh makro," ucapnya namun Hendra belum memastikan level nilai tukar Rupiah hingga tahun 2017 karena tergantng dinamika perekonomian meliputi inflasi, proyeksi inflasi serta perkembangan nilai tukar negara lain.
Pengelolaan utang luar negeri juga menjadi langkah antisipatif bank sentral Indonesia untuk memigitasi risiko terhadap kemungkinan penguatan nilai mata uang dolar AS.
"Transmisi yang paling cepat adalah pasar keuangan terutama di 'foreign exchange market'. Ini bukan pertama kalinya mengalami situasi seperti ini, BI sudah memitigasi risiko," ucap Hendar.
Normalisasi suku bunga oleh The Fed menjadi salah satu isu yang didiskusikan dalam seminar internasional tersebut selain kerangka laporan keuangan bank sentral.
Hendar mengatakan bahwa kebijakan moneter negara maju seperti The Fed dan Bank of Japan untuk meningkakan pertumbuhan ekonominya telah mengakibatkan neraca bank sentral di negara itu mengalami peningkatan.
Di sisi lain, negara-negara berkembang seperti Indonesia, kebijakan ekspansif yang dilakukan bank sentral negara maju telah menyebabkan derasnya arus masuk modal.
Hal ini akan meningkatkan aset dan sekaligus kewajiban karena penyerapan likuiditas valas bank sentral sehingga hal itu menambah kompleksitas pada laporan keuangan bank sentral.
Membesarnya valas yang dipegang bank sentral juga muncul risiko kurs yang dapat berpengaruh terhadap surplus atau defisit keuangan bank sentral.
Menyadari kompleksnya laporan keuangan bagi bank sentral, BI bersama bank sentral di Asia Tenggara dan beberapa negara asia lainnya melakukan penelitian terkait laporan keuangan bank sentral yang dipimpin Indonesia bersama Bank of Thailand, Reserve Bank of India, Banko Sentral Ng Filipina, Central Bank of Srilanka dan National Bank Kamboja.
Hasilnya, bank sentral negara itu menyepakati perlunya mengembangkan desain kerangka laporan keuangan yang dapat mengakomodir keunikan transaksi bank sentral untuk menunjang transparansi atas dampak keuangan itu.
"Indonesia (BI) beruntung sudah lebih dulu maju dalam konteks ini kami menyusun akuntansi bank sentral yang mengadopsi beberapa keunikan bank sentral misalnya mengenai pencatatan, pembukuan kalau bank sentral menerbitkan uang, 'kan tidak bisa dengan akuntasi seperti perusahaan biasa," katanya. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil