Ajakan Presiden Joko Widodo agar fundamental ekonomi Indonesia tidak hanya diukur dari kurs rupiah terhadap dolar AS, melainkan terhadap mata uang negara maju lainnya cukup realistis dan memungkinkan, namun membutuhkan cukup waktu dan konsensus bersama.
"Misalnya mata uang lain ingin menjadi acuan dalam transaksi perdagangan, itu memerlukan proses yang lama. Perkiraan saya, dua atau tiga dekade dan tidak mudah," kata Presiden Direktur Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Didiek J. Rachbini ketika dimintai komentarnya mengenai pernyataan Presiden Joko Widodo di Jakarta, Rabu (7/12/2016).
Menurut Didiek, dalam pernyataannya, Presiden ingin mengajak pelaku pasar untuk memandang kondisi ekonomi domestik secara komprehensif dan proposional, tidak melulu melalui patokan kurs dollar Amerika Serikat (AS). Hal itu karena transaksi perdagangan antara Indonesia dengan AS juga bukan yang terbesar.
Negara Paman Sam, menurut Presiden (6/12) merupakan mitra dagang yang hanya berkontribusi 9-10 persen dari keseluruhan nilai perdagangan mancanegara Indonesia.
Di atas AS, masih ada Tiongkok yang menggunakan mata uang Yen Renmimbi, dengan kontribusi 15,5 persen ke perdagangan luar negeri Indonesia, kemudian Eropa (Euro) 11,4 persen, dan Jepang (Yen) sebesar 10,7 persen.
Menurut Didiek, "Ide yang bagus, supaya tidak menjadikan dollar AS sebagai nominasi referensi satu satunya" "Pendapatan kita 1000 dolar AS di sini akan jauh lebih makmur dibanding 1000 dolar AS di Inggris. Tapi untuk jadi acuan memang ada proses yang lama," tambah dia.
Untuk menggeser peran dollar AS dalam perdagangan luar negeri, lanjut Didiek, juga memerlukan kesepakatan atau konsensus bersama sesama negara mitra dagang. Di wilayah Asia Timur, penggunaan dollar AS dalam transaksi dagang antarnegara sudah berkurang.
Indonesia, kata Didiek, bisa saja menggeser peran dolar AS. Namun perlu hati-hati dalam menggunakan acuan mata uang negara maju lainnya sebagai acuan baru. Misalnya, jika menggunakan mata uang Yuan Renmimbi, perlu dipertimbangkan juga kondisi ekonomi Tiongkok yang sedang mengalami perlambatan.
"Di perbankan Indonesia juga perlu dilihat, apakah kondisi suplai Yuan banyak ? Sekarang kan lebih banyak dolar AS," kata dia.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung menuturkan selama ini Indonesia tidak hanya menggunakan acuan dolar AS untuk membandingkan nilai mata uang.
Dalam indikator "Real Effective Exchange Rate" (REER), Indonesia juga membandingkan rupiah dengan mata uang mitra dagang lainnya seperti Tiongkok, Jepang, Eropa, dan Thailand.
Untuk mengurangi ketergangungan terhadap dollar AS, saat ini Indonesia juga sudah menggunakan kerja sama bilateral dengan mitra dagang melalui kerangka "bilateral currency swap agreement" (BCSA) dengan beberapa negara.
Dengan BCSA, kegiatan transaksi perdagangan tidak perlu menggunakan dolar AS, namun menggunakan mata uang masing-masing negara yang terlibat transaksi dagang. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil