Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Emirsyah Satar Sudah Dicekal Keluar Negeri

        Emirsyah Satar Sudah Dicekal Keluar Negeri Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        KPK sudah mengirim surat permintaan cegah untuk mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar karena ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi.

        "Kami sudah melakukan pencekalan, sudah beberapa hari yang lalu pencekalan, sudah minta ke Ditjen Imigrasi, sudah sebelum pengumuman tersangka kemarin," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung KPK Jakarta, Jumat (20/1/2017).

        Emirsyah Satar ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap dalam pengadaan mesin pesawat dari Air Bus SAS dan Rolls Royce Plc pada PT Garuda Indonesia Tbk. Kepala Bagian Humas Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Agung Sampurno menjelaskan pencegahan keluar negeri itu sudah efektif sejak 16 Januari 2017.

        "Sudah menerima surat permintaan cegah sejak surat per tanggal 16 Januari 2017 dan berlaku sejak tanggal dimintakan untuk periode 6 bulan ke depan, untuk kasus sesuai yang diminta," kata Agung saat dihubungi. Namun Agung tidak bisa memastikan apakah Emirsyah masih di Indonesia atau di luar negeri.

        "Nanti kita tanyakan dulu data perlintasan apakah infonya sudah melintas atau tidak. Tinggal dicek apakah perginya setelah atau sebelum dicekal, karena kalau setelah berarti bocor, tapi kalau sebelum memang boleh-boleh saja," jelas Agung.

        Menurut Laode, KPK sudah pernah memeriksa Emirsyah. "Sudah diperiksa beberapa kali, bahkan lebih dari satu kali dan kalau dibutuhkan pemeriksaan tambahan akan dilakukan, tapi tergantung," tambah Laode.

        Terkait apakah pihak dari Rolls Royce selaku pemberi suap akan diperiksa, Laode mengatakan bahwa KPK tidak punya kewenangan pemeriksaan tersebut. "Yang melakukan pemeriksaan adalah SFO, karena mereka ada di Inggris. Kita tidak punya kewenangan untuk memeriksa pihak Rolls Royce di sana karena itu kami serahkan kepada SFO, tetapi informasi yang didapat SFO dibuat 'available' untuk KPK sehingga kita bisa pakai karena itu hasil pemeriksaan formal dan resmi," jelas Laode.

        Emirsyah dalam perkara itu diduga menerima suap 1,2 juta euro dan 180.000 dolar AS atau senilai total Rp20 miliar serta dalam bentuk barang senilai dua juta dolar AS yang tersebar di Singapura dan Indonesia dari perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce dalam pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014 pada PT Garuda Indonesia Tbk.

        Pemberian suap itu dilakukan melalui seorang perantara Soetikno Soedarjo selaku "beneficial owner" dari Connaught International Pte. Ltd yang berlokasi di Singapura. Soektino diketahui merupakan Presiden Komisaris PT Mugi Rekso Abadi (MRA), satu kelompok perusahaan di bidang media dan gaya hidup.

        Rolls Royce sendiri oleh pengadilan di Inggris berdasarkan investigasi SFO sudah dikenai denda sebanyak 671 juta pounsterling (sekitar Rp11 triliun) karena melakukan pratik suap di beberapa negara antara lain Malaysia, Thailand, Tiongkok, Brazil, Kazakhstan, Azerbaizan, Irak, Anggola.

        KPK awalnya menerima laporan dari SFO dan CPIB yang sedang menginvestigasi suap Rolls Royce di beberapa negara, SFO dan CPIB pun mengonfirmasi hal itu ke KPK termasuk memberikan sejumlah alat bukti. KPK melalui CPIB dan SFO juga sudah membekukan sejumlah rekening dan menyita aset Emirsyah yang berada di luar negeri.

        Emirsyah disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huru f atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

        Sedangkan Soetikno Soedarjo diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana paling singkat satu tahun dan lama lima tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. (ant)

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Sucipto

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: