Ide tentang perlunya rakyat Indonesia kembali menerapkan Undang-Undang Dasar 1945 yang asli, sebelum diamendemen empat kali, telah digulirkan beberapa kali oleh mereka yang tak puas menyaksikan praktik politik belakangan ini.
Mereka ini bukan cuma orang-orang yang pernah menikmati manisnya buah dan kue yang dihasilkan oleh Orde Baru, yang lihai memanipulasi pasal-pasal dalam konstitusi seperti ketidakterbatasan periode bagi presiden untuk dipilih berulang kali. Kwik Kian Gie pun, politisi yang pernah popular dengan baju Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang kini lebih suka menyebut diri sebagai pengamat ekonomi politik, punya pendapat serupa: kembali ke UUD 1945 yang asli.
Bagi Kwik, pemilihan secara langsung oleh rakyat atas dasar 50 persen plus 1 tak mungkin diterapkan untuk bangsa yang pendidikan, pengetahuan dan kematangan jiwanya dan wisdomnya belum memadai.
Kesimpulan yang ditarik oleh Kwik tampaknya sulit dicari pembenarannya. Setidaknya, jika kesimpulan itu dihadapkan pada realitas politik mutakhir di Amerika Serikat pun, sangat sulit diperoleh justifikasinya.
Taruhlah warga AS itu punya pendidikan yang memadai menurut standar sistem demokrasi. Tapi apakah dengan demikian mereka punya kematangan jiwa dan kebijaksanaan yang memadai? Para psikolog tahu bahwa tingkat pendidikan yang tinggi tak selalu berkorelasi dengan kematangan jiwa dan kebijaksanaan yang tinggi.
Komunitas petani atau nelayan yang relatif rendah tingkat pendidikannya tak bisa diasumsikan punya kematangan jiwa dan kebijaksanaan yang rendah jika dibandingkan dengan komunitas pengacara atau aktivis lembaga swadaya masyarakat yang rata-rata punya tingkat pendidikan lebih tinggi.
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS yang oleh para pemikir politik dianggap sebagai bencana global karena kecenderungan politiknya yang nasionalistis diskriminatif rasis membuktikan bahwa kematangan jiwa dan kearifan itu tak teruji dalam masyarakat yang rata-rata punya tingkat pendidikan tinggi.
Ide Kwik untuk mengubah sistem politik dengan kembali ke UUD 1945 asli pada dasarnya menyetujui kembalinya sistem politik oligarkis menguasai hajat hidup publik.
Dia mengusulkan kembalinya keberlakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan lembaga tertinggi dengan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih langsung oleh rakyat, Utusan Golongan yang tak dipilih tapi diajukan para profesional dan Utusan Daerah yang tak dipilih tapi dijaring dari para pemimpin sejati di daerah-daerah.
Dalam fantasi Kwik, para profesional adalah makluk berpendidikan yang lebih arif dalam mencari orang-orang terbaik untuk dipilih dan dijadikan anggota sebagai wakil daerah. Dia seolah tak tahu bahwa dalam organisasi apa pun, termasuk yang professional, intrik dan taktik demi kepentingan personal dalam memenangkan seseorang untuk terpilih sebagai wakil mereka tak bisa dinihilkan.
Begitu juga dengan memilih pemimpin terbaik di daerah untuk dijadikan wakil dalam Utusan Daerah. Ketika ada puluhan bahkan ratusan calon-calon yang dianggap layak mewakili Utusan Daerah harus dipilih, dewan yang dibentuk untuk memilih pun akan bermanuver, menjalankan trik dan intrik politik untuk memenangkan pilihan favorit mereka.
Apakah Kwik dapat menjamin bahwa pilihan profesional dan dewan pemilih yang menentukan wakil Utusan Daerah itu dipastikan akan memuaskan rakyat yang punya hak paling hakiki dalam menentukan pemimpin? Bagaimana bila kritik dan ketidakpuasan rakyat itu kian hari kian membesar dan menuntut pemilihan ulang? Dan setelah dipilih ulang, bagaimana jika ternyata masih terjadi penolakan massal? Tampaknya argumen pemilihan pemimpin yang menjadi wakil rakyat haruslah dilakukan oleh rakyat sendiri, bukan kalangan profesional atau dewan pemilih.
Sistem politik yang dijalankan lewat konstitusi hasil amendemen empat kali UUD 1945 memang tak mungkin sempurna dan salah satu efek buruknya adalah apa yang disebut Presiden Joko Widodo sebagai demokrasi kebablasan.
Namun, untuk meminimalisasi keburukan itu tak perlu mengembalikan konstitusi ke UUD 1945 yang asli yang terbukti memberikan kekuasaan sangat besar pada lembaga kepresidenan.
Beberapa jalan untuk mengatasi keburukan itu antara lain melakukan penegakan hukum secara tegas. Para demonstran yang terbukti membawa senjata tajam, entah berupa pentungan, bambu runcing maupun tumpul, harus dilarang. Jika belum ada undang-undang yang mengaturnya, undang-undang itu perlu dibikin.
Para pemimpin organisasi politik, massa atau ornasisasi lain yang mengobarkan ujaran kebencian apalagi menyerukan kekerasan harus diajukan ke meja hijau untuk diadili secara terbuka dan ditayangkan oleh media massa biar publik bisa belajar demokrasi dari proses hukum yang adil dan jujur itu.
Demokrasi yang kebablasan tak perlu diatasi dengan mengembalikan UUD 1945 sebagai antidot atau obat penawar. Solusi untuk itu adalah penegakan hukum yang tegas.
Selama ini aparat sudah memperlihatkan ketegasan itu namun kadang kurang mengena sasaran. Sebagai contoh, dalam demostrasi yang melibatkan massa berjumlah besar di akhir 2016, para pembakar mobil aparat tak segera ditangkap namun dalam demonstrasi berikutnya, aparat justru tegas dalam menangkap mereka yang diduga berencana melakukan makar.?Aparat agaknya perlu lebih arif dalam memutuskan bahwa menangkap para pembakar kendaraan milik negara atau pribadi dalam demonstrasi itu lebih urgen ketimbang menangkap terduga makar yang baru dalam tahap merencanakan, apalagi potensi jumlah pengikut tokoh makar itu bisa diibaratkan pepesan kosong.
(Antara)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: