Para anggota parlemen negara-negara anggota ASEAN berkumpul di Jakarta selama dua hari (24-25 Agustus) untuk membahas mengenai perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang kini tengah berjalan. Dari Indonesia diwakili Melani Leimena Suharli dari Komisi VI DPR RI.
Melani mengatakan pemerintah sebaiknya tidak terburu-buru untuk menyetujui dan menandatangani perjanjian RCEP.
"Setiap perjanjian internasional, kami dari DPR mengharapkan pemerintah tidak dengan mudahnya untuk menandatangani MoU. Sebelum MoU itu ditandatangani kami minta dilibatkan," tegas politisi asal Partai Demokrat itu dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (25/8/2017) kemarin.
Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak salah dalam mengambil keputusan salah satunya ketika menyetujui perjanjian bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
"Seperti MEA sebetulnya kita belum siap tetapi karena kita sudah menandatangani akhirnya kita menerima dan ternyata banyak juga kita belum siap juga," ujarnya.
Pandangan sama dikatakan anggota Parlemen Filipina Tomasito Villarin. Ia menilai RCEP tidak ada bedanya dengan perjanjian perdagangan bebas lain yang kerap membahayakan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan.
"Kami mendorong pemerintah, para anggota parlemen, dan masyarakat termasuk kalangan bisnis untuk maju dan menuntut kepentingan publik di atas kepentingan korporasi global. Paling tidak kita harus membuka proses negosiasi untuk dibuka ke publik dan parlemen. Kita bisa meminta kepada seluruh pemerintahan kita untuk melakukan analisis untung rugi dari draf RCEP final yang akan diperlihatkan ke publik sebelum ada penandatanganan persetujuan apapun," kata Tomasito.
Sekedar informsi, RCEP merupakan kerja sama antara sepuluh negara anggota ASEAN dengan enam partner lain, yakni Australia, Republik Rakyat Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan.
RCEP memiliki populasi sebesar 45% dari populasi dunia dengan produk domestik bruto (PDB) US$22,4 triliun dan mencakup 30% dari total perdagangan dunia. Selain itu, pertumbuhan negara seperti Tiongkok, India, dan Indonesia akan mencapai nilai US$100 triliun pada 2050.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Cahyo Prayogo