Setelah bosan bekerja, sebagian orang memutuskan untuk memulai usaha sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian sukses hingga dapat menyediakan kesempatan kerja bagi orang lain. Ini seperti yang dialami oleh Sugeng Slamet, salah satu nasabah dan debitur Bank Central Asia (BCA) asal Gintung, Bulukerto, Bumiaji, Batu, Malang.
Slamet yang semula seorang karyawan distributor apel bagian pengepakan bertekad memiliki usaha sendiri. Tahun 1998 dia mengawali usahanya dengan modal Rp7,5 juta sebagai pedagang buah. Usahanya terus berkembang, dia juga menjadi distributor ke sejumlah daerah.
Tahun 2005 Slamet mengajukan tambahan modal ke BCA sebesar Rp250 juta. Pinjaman tersebut digunakan untuk memperbesar pasar hingga seluruh penjuru Pulau Jawa, Jakarta, hingga ke Medan. Bahkan dia pernah melakukan ekspor ke Timor Leste, namun karena keterbatasan dana akhirnya ekspor tersebut dihentikan.
"Pasarnya sebenarnya bagus, tapi berhenti karena masalah keuangan. Sekarang fokus dalam negeri," ujar Sugeng di Malang, belum lama ini.
Di saat pasar mulai besar, pasokan buah Apel di Kota Batu sempat mengalami kolaps. Apel Batu yang sudah terkenal di seluruh negeri itu pernah hanya dihargai Rp5 ribu perkilo. Penyebabnya, harga pupuk sangat mahal yang membuat biaya operasional melambung tinggi. Banyak petani tidak mampu membeli pupuk sehingga menurunkan mutu produk, akhirnya kalah bersaing dengan produk impor.
Slamet berpikir agar dapat bersaing dengan produk global maka mutu produk Apel Batu harus terus dijaga. Tidak lain, solusinya adalah dengan memberikan pupuk yang baik. Para petani harus mendapatkan bantuan agar dapat membeli pupuk yang dibutuhkan.
Akhirnya, pada tahun 2007 Slamet kembali mengajukan pinjaman ke BCA sebesar Rp800 juta. Tambahan modal tersebut digunakan untuk membangun kemitraan dengan petani Apel di Kota Batu. Para petani diberikan pinjaman antara Rp10 juta hingga Rp70 juta untuk membeli pupuk yang berkualitas, di antaranya pupuk organik dan pupuk insektisida.
Awalnya para petani enggan untuk bergabung, tapi dengan kesepakatan yang ditawarkan akhirnya banyak petani yang berminat. Adapun, kesepakatan yang ditawarkan adalah tidak meminta kembali pinjaman yang diberikan menggunakan uang cash, tapi memotong hasil panen minimal 2% hingga pinjaman lunas.
Para petani mulai tertarik dan bergabung, awalnya hanya 40 petani kini telah bertambah menjadi 350 petani. Saat ini hasil produksi dari kebun milik Slamet dan mitranya dalam satu hari mencapai 12 ton. Sementara pasokan ke sejumlah jaringan distribusi yang dikembangkan baru mencapai enam ton per hari.
Slamet mengaku tidak ingin menambah pasokan ke pasar untuk menjaga stabilitas harga. Saat ini harga perkilo untuk jenis rum beauty dari petani sebesar Rp14 ribu dijual di Supermarket mencapai Rp28 ribu, Mana lagi dari petani Rp12 ribu dijual di Supermarket seharga Rp26 ribu. Untuk jenis lain, Anna dihargai Rp10 ribu dari petani dan Grand Smith dari petani Rp7 ribu dari petani.
Selanjutnya untuk mengelola kelebihan produksi apel dari para mitra petani, Slamet saat ini tengah membangun pabrik pengolahan Sari Apel dan Kripik Apel. Lagi-lagi, dia membutuhkan tambahan dana. Investasi yang dibutuhkan untuk membangun pabrik mencapai Rp1,5 miliar. Untuk modal tersebut, dia telah mendapatkan suntikan dana BCA sebesar Rp800 juta.
Pabrik baru tersebut ditargetkan akan beroperasi awal tahun 2018. Slamet seorang lulusan SMA PGRI di kota Malang itu telah menjadi juragan dan pemilik Usaha Dagang (UD) Gelora yang bergerak di bidang penghasil dan distributor buah apel bermutu di Kota Batu. Dia memiliki 60 karyawan bagian packing, distributor dan petani untuk 24 hektar kebun apel miliknya. Dengan dioperasikannya pabrik tahun depan, diperkirakan membutuhkan tambahan tenaga kerja mencapai 15 orang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: