Sejak?pertama menjalin?kerja sama dengan?Panasonic tahun 1960 lalu, dan sempat diperbarui pada 2000 lalu, tercatat sudah 58 tahun grup usaha Rachmat Gobel menjalin kerja sama dengan mitra dari Jepang tersebut. Kesamaan visi dan filosofi bisnis yang mendasari kerja sama bisnis tersebut turut melanggengkan usaha yang mereka bangun bersama-sama. Panasonic hanya salah satu contoh karena Rachmat Gobel sendiri menjalin kerja sama dengan mitra Jepang lainnya.
Ketertarikan Rachmat Gobel terhadap mitra Jepang bukan tanpa alasan. Perusahaan Jepang tidak sekadar berinvestasi di Indonesia untuk mempekerjakan orang, namun juga membangun orang-orang itu sendiri. Keduanya sama-sama memiliki filosofi: sebelum membuat barang atau jasa yang berkualitas, terlebih dulu harus membangun manusia (karyawan) yang berkualitas. Makanya, seringkali perusahaan Jepang membangun sumber daya manusia di segenap lingkungan perusahaan.
Dari sisi perusahaan Jepang, mereka nyaman berbisnis dengan grup usaha Gobel lantaran ia tidak mengejar keuntungan semata, namun lebih kepada kesinambungan usaha. Berbeda dengan kebanyakan perusahaan yang membangun pabrik (dengan orientasi laba), Grup Gobel mempunyai visi membangun industri dan keberlanjutannya ke depan. Kesamaan bahasa dan komitmen bisnis keduanya menjadi kunci kelanggengan hubungan bisnis ini.?
?Kalau kita dapet untung 10 jangan diambil semua, ambil saja 4 atau 2, lainnya disimpen untuk mengembangkan produk, R&D, dan sebagainya karena kita harus memikirkan keberlangsungan usaha untuk generasi selanjutnya. Jadi, kita sama-sama membangun perusahaan itu, bukan mau cari untung, tapi benar-benar membangun perusahaan. Kalau kita bangun perusahaan, pasti untungnya ada. Tapi kalau mau cari untung saja, perusahaan belum tentu masa depannya berjalan,? katanya kepada redaksi Warta Ekonomi belum lama ini.?
Begitu pun sebagai pemiliki saham minoritas (40%). Persoalan bagi-bagi untung bukan satu-satunya yang dipertimbangkan. Menjadi minoritas tidak berarti grup usahanya kecil dan tidak selamanya yang kecil menjadi kecil. Keyakinan ini ia dapat setelah kuliah dan bekerja di perusahaan Jepang.
Belajar dari filosofi huruf kanji, manusia ditulis dengan huruf (Hito): satu garis huruf di atas, garis huruf yang lain di bawah menandakan kalau tidak ada yang kecil jatuhlah yang besar, begitu juga sebaliknya. Jadi, kedua garis huruf saling menopang, yang memiliki?makna perlunya saling menghormati dan mempercayai. Saat sudah menguasai prinsip tersebut, manusia akan naik kelas sebagaimana digambarkan dengan huruf (Hairu). Garis huruf yang semula panjang berubah menjadi pendek, yang artinya keuntungan mulai naik dan ia mampu memberikan nilai tambah. Sisi kecil tadi, yang semula memberikan keuntungan untuk yang besar turut tumbuh menjadi besar.
?Jadi, saya gak merasa kecil. Saya bukan orang yang lemah. Dengan saya memberikan dia untung, mau gak mau dia kasih saya untung lagi. Inilah yang saya yakini: yang kecil itu gak selamanya kecil. Makanya saya selalu bilang ke anak saya, hormati yang paling kecil (karyawan) karena dialah yang memberi keuntungan. Di perusahaan-perusahaan di Jepang, yang kecillah yang memberikan keuntungan, mereka ini perusahaan menegah kecil (UKM). Makanya, perusahaan besar juga harus turut membangun perusahaan kecil. Itu yang saya pelajari setelah bekerja selama 1 tahun di perusahaan Jepang. Setelah selesai, oh iya bener. Jadi, kita belajar kanji itu untuk tahu filosofinya apa, manajemen itu seperti apa,? tambah Rachmat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: