Kredit Foto: Antara/Widodo S Jusuf
Warta Ekonomi, Jakarta -
Stok beras yang dimiliki oleh lembaga Bulog perlu benar-benar diperkuat dalam rangka melawan para pedagang yang menahan komoditas tersebut untuk mendapatkan keuntungan lebih pada masa mendatang.
"Saat ini ajaib kalau kita masih berbicara persoalan tentang beras," kata Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli dalam diskusi "Tata Kelola Perberasan serta Dampaknya Terhadap Stabilitas Nasional" yang digelar di Jakarta, Selasa (20/3/2018).
Menurut Rizal Ramli, saat pemerintahan Gus Dur harga beras relatif stabil selama dua tahun sehingga pada jangka waktu tersebut dapat dilalui tanpa impor.
Rizal yang juga menjabat sebagai Kepala Bulog ketika itu juga mengatakan, pihaknya saat itu memandang komoditas beras seperti valuta asing, sehingga bila ada yang mau berspekulasi akan segera ditangani.
Saat memimpin Bulog, ujar Rizal, dirinya setiap hari mendapatkan laporan daerah mana yang naiknya tinggi sehingga bisa langsung bisa ditelepon ke Bulog di daerah untuk mengetahui apa penyebab kenakan tersebut.
Kalau ada pedagang yang menahan beras, maka Rizal langusng memerintahkan untuk membanjiri pasar dengan ratusan ribu ton selama berbulan-bulan.
Hal itu, ujar dia, karena pedagang juga memiliki beban seperti untuk membayar biaya penyimpanan gudang sehingga mereka juga tidak akan dapat menahan terlalu lama.
"Akhirnya (pedagang) menyerah ikut harga Bulog," kata mantan Menko Kemaritiman itu.
Menurut dia, secara sederhanya bila pedagang "melawan" pemerintah, maka yang kalah adalah pedagang.
Untuk itu, Rizal menegaskan bahwa untuk menjadi Kepala Bulog harus memiiki mental yang kuat dan berani untuk menggertak.
Sementara itu, pembicara lainnya Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM Prof Maksum mengatakan bahwa regulasi Inpres No 5/2015 dinilai "bodong", karena level harga pokok pembelian (HPP) yang ditetapkan jauh lebih rendah dari harga pasar, juga pada saat panen raya sekalipun.
"Bisa dipastikan Bulog tidak punya stok sehingga operasi pasar yang dilakukan menjadi mandul. Ini kejahatan administratif," katanya.
Sedangkan Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi Yeka Hendra Fatika mengatakan, meski setiap hari ada panen, tetapi jumlah panen perlu flukutasi, sehingga hal tersebut juga menggambarkan bahwa Indonesia perlu memiliki stok.
Namun, ujar dia, pada saat ini jumlah stok pangan yang berada di pedagang juga tidak jelas dan saat ini juga dinilai tidak memiliki data yang tepat untuk pengambilan kebijakan yang tepat pula.
Menurut Rizal Ramli, saat pemerintahan Gus Dur harga beras relatif stabil selama dua tahun sehingga pada jangka waktu tersebut dapat dilalui tanpa impor.
Rizal yang juga menjabat sebagai Kepala Bulog ketika itu juga mengatakan, pihaknya saat itu memandang komoditas beras seperti valuta asing, sehingga bila ada yang mau berspekulasi akan segera ditangani.
Saat memimpin Bulog, ujar Rizal, dirinya setiap hari mendapatkan laporan daerah mana yang naiknya tinggi sehingga bisa langsung bisa ditelepon ke Bulog di daerah untuk mengetahui apa penyebab kenakan tersebut.
Kalau ada pedagang yang menahan beras, maka Rizal langusng memerintahkan untuk membanjiri pasar dengan ratusan ribu ton selama berbulan-bulan.
Hal itu, ujar dia, karena pedagang juga memiliki beban seperti untuk membayar biaya penyimpanan gudang sehingga mereka juga tidak akan dapat menahan terlalu lama.
"Akhirnya (pedagang) menyerah ikut harga Bulog," kata mantan Menko Kemaritiman itu.
Menurut dia, secara sederhanya bila pedagang "melawan" pemerintah, maka yang kalah adalah pedagang.
Untuk itu, Rizal menegaskan bahwa untuk menjadi Kepala Bulog harus memiiki mental yang kuat dan berani untuk menggertak.
Sementara itu, pembicara lainnya Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM Prof Maksum mengatakan bahwa regulasi Inpres No 5/2015 dinilai "bodong", karena level harga pokok pembelian (HPP) yang ditetapkan jauh lebih rendah dari harga pasar, juga pada saat panen raya sekalipun.
"Bisa dipastikan Bulog tidak punya stok sehingga operasi pasar yang dilakukan menjadi mandul. Ini kejahatan administratif," katanya.
Sedangkan Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi Yeka Hendra Fatika mengatakan, meski setiap hari ada panen, tetapi jumlah panen perlu flukutasi, sehingga hal tersebut juga menggambarkan bahwa Indonesia perlu memiliki stok.
Namun, ujar dia, pada saat ini jumlah stok pangan yang berada di pedagang juga tidak jelas dan saat ini juga dinilai tidak memiliki data yang tepat untuk pengambilan kebijakan yang tepat pula.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: