Data JISDOR Bank Indonesia (BI) menyebutkan nilai tukar Rupiah pada hari ini, Rabu (9/5/2018), dibuka pada posisi Rp14.074 per dolar AS, melemah lebih dalam dibandingkan posisi Selasa (8/5/2018) yang sebesar Rp14.036 per dolar AS.
Menurut pengamat ekonomi dari Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, pelemahan nilai tukar rupiah diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir Mei 2018 terbuka peluang kurs terdepresiasi hingga Rp14.000-14.200 per dolar AS.
Beberapa faktor pelemahan rupiah di antaranya karena investor melakukan spekulasi terkait prediksi kenaikan Fed rate pada rapat FOMC Juni mendatang setelah pengumuman data pengangguran AS sebesar 3,9% terendah bahkan sebelum krisis 2008. Spekulasi ini membuat capital outflow di pasar modal mencapai Rp11,3 triliun dalam 1 bulan terakhir.
Kemudian, investor juga bereaksi negatif terhadap rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2018 yang hanya mencapai 5,06%. Lalu, permintaan dolar AS diperkirakan naik pada triwulan II 2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen.
"Importir lebih banyak memegang dolar untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek. Defisit transaksi berjalan tahun ini semakin melebar diperkirakan hingga 2,1% terhadap PDB. Selain karena keluarnya modal asing juga karena defisit neraca perdagangan yang diperkirakan akan kembali terjadi jelang Lebaran karena impor barang konsumsinya naik," kata Bhima kepada Warta Ekonomi di Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Untuk menjaga nilai tukar rupiah tidak semakin dalam, Bhima mengatakan, pemerintah harus memperkuat kinerja ekonomi domestik. Hal ini lantaran sebagian besar yang memengaruhi pelemahan rupiah bukan sekadar faktor global tapi juga fundamental ekonomi.
"Pulihkan kepercayaan investor, jaga stabilitas harga baik BBM, listrik maupun harga pangan jelang Ramadan sehingga konsumsi rumah tangga yang berperan 56% terhadap PDB bisa pulih," paparnya.
Kemudian pengusaha terutama yang memiliki utang luar negeri diharapakan untuk melakukan hedging atau lindung nilai. Fluktuasi kurs dapat membuat risiko gagal bayar utang valas meningkat.
"Bagi perusahaan yang bersiap membagikan dividen perlu mempersiapkan pasokan dolar untuk memitigasi ke depannya kurs dolar semakin mahal," ucap Bhima.
Untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, Bhima menuturkan BI tidak bisa lagi mengandalkan cadangan devisa sebagai satu-satunya instrumen untuk stabilitas nilai tukar. Jika kondisi mendesak, BI bisa naikkan bunga acuan 25-50 bps.
"Kenaikan bunga acuan diharapkan bisa menaikkan return instrumen investasi di Indonesia sehingga dana asing tidak melanjutkan capital flight," tandas Bhima.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Ratih Rahayu