Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Dirut PLN Dinilai Berperan dalam Proyek PLTU

        Dirut PLN Dinilai Berperan dalam Proyek PLTU Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK membeberkan sejumlah peran Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir dalam pengadaan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang 2x300 MW di Peranap, Indragiri Hulu, Riau (PLTU MT RIAU-1).

        Pemegang saham Blakgold Natural Resources Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo sekitar 2015 mengetahui rencana pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau 1, sehingga ia mencari investor dan didapatlah perusahaan China, yakni CHEC Ltd dalam proyek tersebut dengan kesepakatan bila proyek berjalan, maka Kotjo akan mendapat fee?sebesar 2,5% atau sekitar US$25 juta, termasuk untuk pihak lain.

        "Pada 2016, Eni Maulani Saragih mengajak Dirut PT PLT Sofyan Basir didampingi Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso menemui Setnov di rumahnya," kata Jaksa Penutut Umum (JPU) KPK Ronald Worotikan dalam sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (4/10/2018).

        Dalam pertemuan itu, Setnov meminta proyek PLTGU Jawa III kepada Sofyan Basir selaku Dirut PT PLN, namun Sofyan menjawab jika PLTGU Jawa III sudah ada kandidat, namun untuk pembangunan PLTU MT RIau-1 belum ada kandidatnya.

        Eni lalu memperkenalkan Kotjo sebagai pengusaha yang tertarik menjadi investor PLTU MT Riau-1 dengan Sofyan Basir pada awal 2017 di kantor PLN. Sofyan lalu minta agar penawaran dikoordinasikan dengan Supangkat Iwan Santoso.

        Pada 29 Maret 2017, PLTU RIAU-1 pun masuk ke dalam RUPTL PT PLN 2017-2026 dan disetujui masuk dalam rencana kerja dan anggaran (RKAP) PT Pembangkit Jawa Bali (PJB). PT PJB sesuai Prepres nomor 4 tahun 2016 ditunjuk melaksanakan 9 proyek IPP dengan wajib memilik 51% saham.

        Supangkat pada Juli 2017 bertemu dengan Kotjo, Eni Maulani dan Sofyan Basir di kantor Sofyan. Supangkat menjelaskan, berdasarkan Perpres tersebut, PT PLN dapat bermitra dengan perusahan swasta dengan syarat kepemilikan saham anak perusahaan PT PLN minimal 51%. Mitra yang bekerja sama juga dapat menyediakan pendanaan modal untuk anak perusaan PT PLN.

        "Atas penjelasan itu terdakwa menyatakan siap bekerja sama dengan anak perusahaan PLN dan dengan CHEC Ltd sebagai penyedia modal proyek," ungkap jaksa.

        Pada 2017, Sofyan kembali menyampaikan kepada Kotjo dan Eni bahwa Kotjo akan mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 dengan penunjukkan langsung, tapi PT PJB harus memiliki saham perusahaan konsorsium minimal 51%.

        PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang lalu menyiapkan dokumen teknis dan administrasi. Setelah dilakukan due dilligence?pada 18 Agustus 2017, PT PLN Batubara memutuskan bekerja sama dengan PT Samantaka Batubara sebagai mitra untuk memasok batu bara proyek PLTU MT RIAU-1.

        Pada September 2017, Kotjo kembali bertemu dengan Eni, Sofyan Basir dan Supangkat. Eni meminta Sofyan membantu Kotjo mendapatkan proyek itu. Sofyan lalu memerintahkan Supangkat mengawasi proses kontrak proyek tersebut.

        Kotjo kembali bertemu dengan Sofyan dan Supangkat dengan difasilitasi oleh Eni. Kotjo keberatan dengan persyaratan PPA menuju Joint Venture Agreement (JVC) yang hanya 15 tahun setelah Commercial Operation Date (COD) dan meminta 20% setelah COD karena CHEC sebagai penyedia dana mayoritas, tapi tidak ada kesepakatan dalam pertemuan itu.

        "Setelah Setya Novanto ditahan KPK dalam kasus KTP-El, Eni Maulani selanjutnya melaporkan perkembangan proyek PLTU MT RIAU-1 kepada Idrus Marham agar Eni tetap diperhatikan terdakwa karena Idrus merupakan Plt Ketua Umum Golkar saat itu," ungkap jaksa.

        Pada 31 Mei 2018, kembali ada pertemuan antara Eni, Kotjo, Sofyan Basir, dan Supangkat terkait PPA yang belum selesai karena CHEC belum sepakat mengenai jangka waktu pengendalian.

        "Eni Maulani meminta Sofyan Basir segera memproses kesepakatan, namun Sofyan menyampaikan bila CHEC, Ltd tidak sanggup memenuhi persyaratan, maka terdakwa mencari perusahaan lain, namun terdakwa menyampaikan akan mengusahakan CHEC menyetujui persyaratan pengendalian JVC selama 15 tahun setelah COD," jelas jaksa.

        Sofyan Basir pada 6 Juni 2018 akhirnya sepakat akan mendorong agar PT PLN dan PT PJBI menandatangani amandemen perjanjian konsorsium dengan catatan CHEC sepakat waktu pengendalian JVC selama 15 tahun setelah COD.

        Sehingga pada 7 Juni 2018 di kantor PLN ditandatangani amandemen perjanjian konsorsium antara PT PJBI, CHEC Ltd, dan BNR Ltd untuk pengelolaan perusahaan proyek harus dilaksanakan dalam bentuk pengendalian bersama dan tunduk kepada hal khusus.

        Pada 3 Juli 2018, Eni melaporkan ke Sofyan bahwa Kotjo berhasil berkoordinasi dengan CHEC, sehingga bersedia memenuhi persyaratan PPA. Eni juga melaporkan ke Idrus dan pembagian fee?pun setelah proses kesepaktan proyek PLTU MT RIAU-1 selesai.

        Fee yang diberikan oleh Kotjo kepada Eni seluruhnya hanya berjumlah Rp4,75 miliar secara bertahap agar Eni membantu Kotjo untuk mendapatkan proyek IPP PLTU Mulut Tambang RIAU-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd, dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd.

        Uang sebesar Rp4 miliar diberikan kepada Eni Maulani melalui Tahta Maharaya di kantor Kotjo pada 18 Desember 2017, sejumlah Rp2 miliar dan pada 14 Maret 2018 sejumlah Rp2 miliar, selanjutnya pada 8 Juni 2018 sejumlah Rp250 juta dan pada 13 Juli 2018 sejumlah Rp500 juta.

        Atas perbuatannya, Kotjo disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

        Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

        Terhadap dakwaan itu, Kotjo tidak mengajukan keberatan?

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: