Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Jangan Dulu Mimpi Swasembada, Harga Pangan Masih Mencekik Rakyat Cilik!

        Jangan Dulu Mimpi Swasembada, Harga Pangan Masih Mencekik Rakyat Cilik! Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kebijakan pangan pemerintah diharapkan mampu menurunkan angka stunting di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi angka stunting di Indonesia mencapai 37,8%.

        Sementara menurut data Riskesdas 2018, angka ini turun menjadi 30,8%. Angka prevalensi stunting kembali turun di tahun ini menjadi 27,67%. Namun, angka ini masih jauh dari standar WHO yaitu 20%.?

        Stunting adalah kondisi di mana balita mengalami kekurangan gizi yang menyebabkan rasio tinggi badan terhadap umur mereka jauh lebih rendah daripada angka rata-rata pada anak seumurnya.

        Baca Juga: Mentan Syahrul Ajak Milenial Terapkan Pola Pangan Sehat

        Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan, stunting pada balita diakibatkan oleh berbagai sebab. Tiga di antaranya adalah buruknya kondisi gizi dan kesehatan ibu sebelum, sedang, dan setelah hamil; rendahnya asupan makanan ke balita, terkhusus rendahnya kuantitas, kualitas, dan variasi komponen gizi; dan adanya infeksi.

        "Indonesia merupakan negara dengan prevalensi stunting tertinggi keempat di dunia berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2018," kata dia melalui siaran berita kepada redaksi Warta Ekonomi, Selasa (13/11/2019).

        Hasil penelitian CIPS menunjukkan, secara umum, kenaikan harga pangan berpengaruh secara signifikan terhadap menurunnya tingkat konsumsi. Kenaikan harga pangan sebesar Rp1.000 akan mengurangi konsumsi beras rumah tangga per kapita bulanan sebesar 0,67 kg.

        Galuh juga menambahkan, rata-rata harga beras lokal dan internasional terpaut berbeda sebesar Rp5.109,18. Jika harga beras lokal sama murahnya dengan harga beras internasional, maka tingkat konsumsi dapat ditambahkan sebanyak 3,43 kg.

        Selain itu, secara umum, penurunan tingkat konsumsi pangan berpengaruh secara signifikan terhadap kenaikan probabilitas suatu rumah tangga memiliki anak stunting. Penelitan CIPS memberikan contoh, misal dengan berkurangnya konsumsi daging sapi sebesar 1 kg akan meningkatkan probabilitas rumah tangga untuk memiliki anak stunting sebesar 1,52%.

        "Konsumsi daging sapi per kapita di Indonesia relatif rendah sebesar 2,399 kg dibandingkan dengan Filipina sebesar 3,25 kg dan Malaysia 4,8 kg. Kalau konsumsi daging sapi di Indonesia dapat menyamai angka tersebut, maka hal itu menurunkan probabilitas stunting sebesar 0,41% dan 0,6% secara berurutan," jelas Galuh.

        Sebagian kebijakan pangan yang diterapkan pemerintah saat ini terdapat unsur pembatasan atau restriksi. Pemerintah menerapkan banyak kebijakan yang bersifat nontarif melalui regulas yang dikeluarkan oleh berbagai kementerian yang membatasi keterlibatan Indonesia dalam perdagangan internasional. Kebijakan-kebijakan ini cenderung menyebabkan kenaikan harga pada komoditas pangan.

        Baca Juga: Dorong Petani Ke Industri Pangan, Kementan Bentuk SP3T

        Beberapa restriksi pada kebijakan antara lain restriksi pada kebijakan beras dalam bentuk monopoli impor yang hanya dikelola Bulog (Permendag nomor 1 tahun 2018 pasal 16 ayat 1), restriksi pada daging sapi melalui pembatasan pelaku impor dan pembatasan akses pasar (Permendag 59/2016).

        "Daging ayam dan telur terdampak dari peningkatan biaya produksi karena ada restriksi yang diberlakukan pada impor jagung untuk pakan," jelas Galuh.

        Restriksi ini bentuknya adalah monopoli impor jagung untuk pakan hanya pada Bulog dan juga adanya rapat koordinasi antarmenteri sebelum mengimpor. Rangkaian proses ini berpotensi memperlambat pengambilan tindakan keputusan impor (Permendag 21/2018 Pasal 3 Ayat (1) dan (2).

        Perlu diketahui, pakan jagung berperan pada 50-60% biaya produksi keseluruhan industri peternakan ayam dan telur. Sehingga kenaikan harga jagung akan berpengaruh pada kenaikan harga ayam dan telur.

        "Swasembada pangan sebaiknya tidak lagi dijadikan cita-cita sektor pertanian karena semakin sulit untuk dicapai. Banyak faktor yang memengaruhi, misalnya berkurangnya luas lahan pertanian dan semakin banyaknya jumlah penduduk. Pemerintah sebaiknya fokus pada menyediakan pangan yang harganya terjangkau bagi semua lapisan masyarakat dan memastikan ketersediaannya," ungkap Galuh.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: