Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Suu Kyi: Kami Minta Pengadilan Internasional Hapus Kasus Genosida Rohingya

        Suu Kyi: Kami Minta Pengadilan Internasional Hapus Kasus Genosida Rohingya Kredit Foto: Reuters/Jorge Silva
        Warta Ekonomi, Den Haag -

        Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi, Kamis (12/12/2019) meminta hakim Mahkamah Internasional untuk menolak tuduhan genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya di negara itu. Suu Kyi mengatakan bahwa sistem peradilan Myanmar harus diberi kesempatan untuk bekerja terlebih dahulu.

        Gambia telah menuduh Myanmar melanggar Konvensi Genosida 1948 dalam kampanye militer yang memaksa lebih dari 730.000 warga Rohingya mengungsi dari Myanmar ke negara tetangga Bangladesh, dan meminta Mahkamah Internasional untuk memerintahkan "langkah sementara" kepada Myanmar guna mencegah lebih banyak korban.

        Tetapi Suu Kyi, yang telah membantah tuduhan genosida itu mengatakan bahwa pengadilan PBB seharusnya tidak memiliki yurisdiksi.

        Baca Juga: Tokoh Myanmar: Kesaksian Aung San Suu Kyi Itu Bohong

        "Myanmar meminta pengadilan untuk menghapus kasus tersebut (genosida Rohingya) dari daftarnya," kata Suu Kyi pada hari ketiga dan hari terakhir persidangan di Den Haag sebagaimana diansir Reuters, Jumat (13/12/2019).

        "Dalam alternatif itu [pengadilan harus] menolak permintaan tindakan sementara yang diajukan oleh Gambia."

        Hakim Ketua Abdulqawi Yusuf mengatakan panel 17 hakim akan membuat perintah "sesegera mungkin", tetapi tidak memberikan tanggal yang spesifik.

        Gambia sebelumnya bersikeras bahwa Myanmar tidak dapat dipercaya untuk meminta pertanggungjawaban tentaranya atas dugaan kekejaman terhadap minoritas Rohingya, dengan menolak seruan dari Suu Kyi agar pengadilan menunggu hasil dari upaya pertanggungjawaban dan pengadilan Myanmar.

        Pengacara Gambia Paul Reichler mengatakan bahwa selama persidangan, Myanmar bahkan tidak berusaha untuk menyangkal sebagian besar tuduhan kekerasan ekstrem yang dilakukan militernya, yang dikenal sebagai Tatmadaw, atau deportasi massal Rohingya setelah operasi penumpasan pada 2017.

        Reichler juga mengatakan pernyataan dari Myanmar bahwa negara itu mengambil tindakan untuk menghukum tentara yang dituduh melakukan kesalahan juga tidak kredibel.

        "Bagaimana mungkin ada orang yang berharap bahwa Tatmadaw bertanggung jawab atas tindakan genosida terhadap Rohingya, ketika enam jenderal tertingginya termasuk penglima militer, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, semuanya dituduh melakukan genosida oleh tim pencari fakta PBB dan direkomendasikan untuk penuntutan pidana," katanya.

        Pada Agustus 2018, tim pencari fakta PBB mengumumkan temuan mereka yang menyatakan militer Myanmar telah melakukan pembunuhan dan pemerkosaan massal dengan "niat genosidal" dalam operasi pembersihan tahun 2017. Tim hukum Gambia telah menguraikan kesaksian gamblang dari laporan tim tersebut pada hari pertama audiensi pada Selasa.

        Suu Kyi yang menerima Nobel Perdamaian pada 1991 mengatakan Myanmar memang telah menyelidiki dan menuntut para prajurit dan perwira yang dituduh melakukan kejahatan. Dia mengatakan bahwa dalam keadaan itu, pengadilan internasional seharusnya tidak melakukan intervensi.

        "Langkah-langkah yang menimbulkan kecurigaan, menabur keraguan, atau menciptakan kebencian di antara masyarakat yang baru saja mulai membangun fondasi kepercayaan yang rapuh dapat merusak rekonsiliasi," katanya dalam pidato penutupan.

        Baca Juga: Indonesia Utus Wakil untuk Pantau Sidang Sangkaan Genosida Rohingya

        Dia menambahkan bahwa jika ada pelanggaran hukum humaniter selama konflik, pelanggaran itu tidak sampai ke tingkat genosida.

        Lebih dari 730.000 warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh setelah militer melancarkan operasi penumpasannya di Provnsi Rakhine. Para penyelidik PBB mengatakan 10.000 orang mungkin terbunuh dalam operasi tersebut.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: