Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Sebilah Gapit di Antara Gadget dan Deru Mesin Pabrik

        Sebilah Gapit di Antara Gadget dan Deru Mesin Pabrik Kredit Foto: Taufan Sukma
        Warta Ekonomi, Klaten -

        Perawakannya tinggi ramping. Kedua tangannya memegang ponsel pintar di kedua sisi. Sorot matanya juga sepenuhnya tertuju pada layar ponsel pintar itu. Sayup-sayup terdengar lantunan suara khas penyanyi campursari yang kini tengah naik daun, Didi Kempot, dari speaker mini compo tua di ruang tamu. Suaranya tak cukup keras, namun sampai juga di pelataran, tempat bocah muda itu menghabiskan waktu.

        Namanya Bintang Pratama. Usianya baru 10 tahun. Namun dia sudah cukup mahir mengendarai motor hingga bermain Mobile Legend (ML), seperti yang dilakukannya saat ini.

        ?We lha malah uthek kuwi maneh. Tatahanmu iki njur kepiye? Seprene kok ora rampung-rampung, wong mandak putren selembar wae (Nah kok malah asyik bermain itu lagi? Trus kerjaan tatahmu bagaimana? Sampai sekarang kok belum selesai juga, padahal hanya tokoh putri selembar saja),? ujar lelaki tua yang muncul dari dalam rumah.

        ?Ngko dhisik. Ngko wae tak lanjutke maneh (Nanti dulu. Nanti saja aku lanjutkan lagi),? sahut Bintang sembari berlalu dengan motor maticnya.

        Dia lah Saiman, lelaku yang muncul dari dalam rumah Bintang, yang tak lain adalah kakek dari sang bocah. Mereka sekeluarga tinggal Dukuh Butuh, Desa Sidowarno, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten.

        Berada dalam wilayah administrasi Klaten, posisi Dukuh Butuh pada dasarnya justru lebih dekat dengan dua kabupaten tetangganya, yaitu yaitu Sukoharjo yang hanya berjarak sembilan kilometer dan cuma 10 kilometer dari pusat Kota Solo.

        Dalam kesehariannya, Saiman berprofesi sebagai perajin wayang kulit. Istilahnya dalam Bahasa Jawa adalah kerajinan tatah sungging. ?Disebut tatah karena lembaran kulit itu kita ukir menggunakan tatah. Sedangkan sungging adalah aktivitas mewarnainya. Saya ini sekeluarga adalah perajin tatah sungging. Mulai Saya, Istri, anak Saya yang bungsu sampai Bintang tadi, cucu Saya, semua adalah perajin (wayang/tatah sungging),? tutur Saiman, saat ditemui di kediamannya, pertengahan bulan lalu.

        Temurun

        Ketrampilan tatah sungging wayang secara turun-temurun memang telah menjadi tradisi di Dukuh Butuh sejak lama. Saiman sendiri mengaku sebagai generasi kedua dalam sejarah berkembangnya aktivitas tatah sungging di Dukuh Butuh. Ayahnya meski bukan seorang perajin wayang, namun juga berkecimpung dalam industri yang sama dengan spesialisasi kerja mengerok kulit kerbau sebagai bahan baku utama pembuatan wayang kulit.

        Kemahiran Saiman dalam membuat wayang didapatnya dari belajar pada seorang perajin tatah sungging senior asal Wonogiri namun tinggal di desa tetangga, di Kabupaten Sukoharjo. Sedangkan sang istri, Sri Asih, sudah mahir mewarnai wayang sejak lulus Sekolah Dasar (SD).

        ?Anak Saya ada tiga, laki-laki semua. Yang pertama dan kedua juga bisa menatah wayang, namun tidak sampai berprofesi jadi perajin. Hanya sambilan saja. Yang benar-benar meneruskan Saya sebagai perajin adalah Pendi, anak bungsu Saya,? ungkap Saiman.

        Kini, Pendi Istakanudin, nama lengkap anak bungsunya itu, menurut Saiman sudah benar-benar mahir dan telah sepenuhnya bisa dilepas dalam memproduksi wayang sendiri. Usianya kini 29 tahun, dan tercatat sebagai perajin wayang termuda di Dukuh Butuh. Inilah yang menjadi kegundahan Saiman. Regenerasi dalam aktivitas memproduksi wayang di kampungnya kini terhenti hanya sampai di tingkatan anaknya saja.

        ?Mengajak anak kecil untuk belajar tatah sungging sekarang itu sudah susahnya minta ampun. Contohnya saja cucu Saya tadi, Bintang Pratama, secara kemampuan dia sebenarnya sudah mulai menguasai teknis dasar tatah sungging. Tapi untuk tekun belajar sudah sulit. Maunya main game terus di hapenya, atau jalan-jalan naik motor ketimbang belajar bikin wayang,? keluh Saiman.

        Keluhan Saiman ini dibenarkan oleh Mamik, Ketua Kelompok Usaha Bersama (Kube) Bima, sebuah wadah tempat berkumpulnya para perajin batik di Dukuh Butuh mulai untuk silaturahmi hingga bekerja bersama dalam menggarap orderan wayang yang datang.

        Menurut Mamik, di tengah laris-manisnya penjualan dan pemesanan wayang yang diterima, para perajin Dukuh Butuh kini dihantui kekhawatiran bakal punahnya budaya tatah sungging di tanah kelahirannya ini. Seiring modernisasi yang mulai menyentuh setiap pelosok negeri, generasi muda Dukuh Butuh juga kian enggan melanjutkan estafet dari orang tua dan keluarga besarnya sebagai perajin tatah sungging wayang kulit.

        ?Kalau anak-anak kecilnya sudah pasti terpengaruh hape. Jaman kami dulu kan belum ada hiburan apa-apa. Pulang sekolah gitu sambil cari kegiatan ya belajar bikin wayang. Dari situ akhirnya terbiasa dan mulai menekuni. Kalau mereka sudah susah. Apalagi remaja-remajanya. Lulus sekolah penginnya langsung kerja di pabrik, nggak mau jadi perajin wayang,? ujar Mamik.

        Menjanjikan

        Padahal, secara kesejahteraan aktivitas membuat wayang, menurut Mamik, justru lebih menjanjikan bila dibandingkan dengan bekerja di pabrik. Klaim ini bisa dibuktikan setidaknya lewat harga jual dan lama pengerjaan yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah wayang.

        Mamik mencontohkan untuk jenis wayang dengan tokoh para puteri, Arjuna, Nakula atau Sadewa yang notabene badannya ramping sehingga secara pengerjaan relatif mudah, biasanya bisa diselesaikan dalam waktu maksimal satu minggu per wayang.

        ?Nah wayang-wayang seperti itu harga jualnya rata-rata sekitar Rp800 ribu per wayang. Itu seminggu. Jadi bisa dibayangkan kan pendapatan perajin dalam sebulan sudah berapa,? ungkap Mamik.

        Belum lagi, lanjut Mamik, kalau wayang yang dipesan merupakan jenis wayang berukuran besar, seperti Kumbakarna atau jenis gunungan. Jenis wayang seperti itu membutuhkan waktu pembuatan rata-rata sekitar sekitar satu bulan, dengan harga jual untuk kualitas standar rata-rata sekitar Rp5 juta. Kalau pemesan meminta proses pewarnaannya menggunakan prada (lapisan emas), tentu harganya semakin mahal lagi.

        ?Kalau pakai prada bisa sampai Rp15 juta per wayang. Habis bikin satu wayang kayak gitu sudah bisa berleha-leha dulu ongkang-ongkang kaki. Ibaratnya gitu,? tukas Mamik, sembari menyeruput secangkir kopi hitam di hadapannya.

        Besarnya pendapatan sebagai perajin wayang tersebut tentu jauh di atas gaji buruh pabrik yang notabene kerap hanya dibayar sesuai Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Provinsi (UMP). Jika mengacu pada aturan tahun 2019, misalnya, UMK Kabupaten Klaten diketahui ?hanya? sebesar Rp1.795.061 per bulan. Pada tahun 2020 mendatang, besaran UMK tersebut telah disepakati meningkat sebesar 8,51 persen menjadi Rp1.947.821 per bulan.

        Jika pembandingnya UMP Jawa Tengah, nilainya justru lebih kecil lagi. Pada tahun 2019 ini, nilai UMP Jateng ditetapkan sebesar Rp1.605.000 per bulan, sedangkan pada tahun 2020 mendatang meningkat menjadi Rp1.742.000 per bulan.

        Pun demikian, faktanya tak terelakkan lagi, bahwa tetap saja mayoritas anak-anak muda Dukuh Butuh lebih banyak yang memilih bekerja di pabrik ketimbang menekuni profesi sebagai perajin wayang kulit.

        Rumit

        Baik Mamik maupun Saiman menilai, keengganan generasi muda untuk menekuni profesi perajin wayang tak lepas dari tingkat kerumitan yang harus dijalani dalam setiap prosesnya. Sebagaimana diketahui, wayang merupakan produk hand made yang mulai dari bahan baku hingga proses pengerjaannya sangat rumit, sehingga membutuhkan keahlian khusus dan tentunya tekad besar untuk bisa mempelajarinya lebih dalam.

        ?Kalau untuk sekadar wayang souvenir atau hiasan, bahan yang dipakai bisa dari kulit sapi atau malah kambing. Tapi kalau untuk wayang yang beneran dipakai dalang pentas, kulitnya pakai kulit kerbau, karena dia tebal. Kalau kulit kambing tidak bisa karena terlalu tipis,? ungkap Mamik.

        Tak hanya kulit, tongkat pegangan sekaligus pengapit kulit wayang agar bisa berdiri tegak juga diambil dari tulang dan tanduk kerbau. Masyarakat Jawa biasa menyebutnya gapit wayang atau cempurit. Selain cempurit, tanduk kerbau juga digunakan di ujung tangan wayang dan berfungsi semacam kuku jempol tangan si tokoh wayang.

        Belum lagi keahlian dan kejelian yang mutlak dibutuhkan untuk seseorang dapat menatah wayang dengan baik dan benar. Lalu juga soal pewarnaan yang tentunya harus sesuai dengan pakem-pakem yang ada dalam dunia pewayangan. Untuk bisa memahami pakem-pakem yang ada dan menguasai berbagai keahlian itu setidaknya dibutuhkan waktu Sekitar dua tahun.

        ?Ini yang biasanya membuat anak-anak muda itu pada malas. Mereka lebih senang kerja di pabrik yang lulus sekolah sudah bisa langsung masuk. Kerjanya seharian cuma pasang kancing atau resleting pakaian. Dan lagi kerja di pabrik dianggap lebih keren karena ikut (bekerja) di perusahaan besar. Padahal kalau mau dibandingkan secara fair, gaji bekerja di pabrik tidak ada apa-apanya dibanding penghasilan seorang perajin wayang,? tukas Mamik.

        Workshop

        Karenanya, baik Mamik maupun Saiman sangat bersyukur manakala pada pertengahan tahun 2018 lalu Dukuh Butuh ditetapkan sebagai salah satu sasaran program Kampung Berseri Astra (KBA) yang diselenggarakan oleh PT Astra International Tbk (ASII).

        Rasa syukur itu lantaran salah satu wujud konkret dari program KBA tersebut adalah pelatihan (workshop) pembuatan wayang kulit di sekolah-sekolah dasar (SD) di sekitar Dukuh Butuh. Saiman berharap program ini dapat terus berjalan lancar, hingga bisa diperluas sampai ke tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga level Sekolah Menengah Atas (SMA).

        ?Kalau kita anak-anak kecil ini secara mandiri di rumah untuk belajar (membuat wayang) biasanya sangat sulit karena lebih suka maen hape dan semacamnya. Dengan diajarkan langsung di sekolah, harapannya bisa lebih terstruktur proses belajarnya,? harap Saiman.

        Tak hanya melakukan workshop di sekolah-sekolah, dukungan Astra dalam mengembangkan potensi perajin wayang di Dukuh Butuh juga dilakukan dengan menyediakan alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan wayang, seperti tanah, alat pewarnaan dan lain sebagainya.

        Selain itu, para perajin juga dikenalkan dengan dasar-dasar administrasi usaha untuk membenahi catatan keuangan usahanya, lalu perluasan jaringan promosi hingga pengembangan inovasi produk-produk yang dihasilkan. Dalam waktu dekat, misalnya, para perajin wayang Dukuh Butuh akan diberangkatkan studi banding dengan para perajin kulit di Kota Gede, Yogyakarta.

        ?Di sana kami nanti akan belajar lagi tentang opsi produk lain yang juga bisa dihasilkan dari bahan dasar kulit. Misalkan saja jaket kulit. Dengan begitu harapan ke depan produk-produk kami bisa lebih variative, dengan tetap ada kekhasannya. Misalnya saja nanti kami bikin jaket kulit dengan beberapa ornament wayang sebagai penghias di lengan, punggung atau semacamnya,? ungkap Mamik.

        Person In Charge (PIC) KBA Dukuh Butuh dari perwakilan Astra Solo, Wahyu Triyono, menyatakan bahwa salah satu alasan Astra Group memilih Dukuh Butuh sebagai sasaran Program KBA adalah terkait kegigihannya dalam mempertahankan salah satu produk budaya Jawa, yaitu wayang kulit, dengan cara tetap melestasikan proses produksinya. Semua pihak tanpa terkecuali harus mendukung setiap upaya pelestarian budaya karena hal tersebut merupakan warisan yang ternilai harganya.

        ?Bahkan UNESCO saja pada tahun 2003 sudah mengakui wayang sebagai produk budaya dunia asli Indonesia. Dan di era moderninsasi seperti saat ini memang sangat challenging untuk mengajak generasi muda belajar membuat wayang. Karenanya melalui KBA ini kami (Astra Group) ingin turut berkontribusi dan menyemangati para perajin wayang Dukuh Butuh untuk terus berjuang melestarikan dan mengembangkan tradisi bangsa ini,? ujar Wahyu, melalui sambungan telepon.

        Empat Pilar

        Wahyu juga menyatakan bahwa program KBA tidak semata-mata berkutat soal ekonomi dan pengembangan usaha semata. Secara keseluruhan program KBA terbagi dalam empat pilar program, yaitu bidang Pendidikan, kewirausahaan, lingkungan dan juga kesehatan.

        Dalam bidang Pendidikan, selain menggelar workshop pembuatan wayang kulit di SD-SD, Astra Group juga memberikan beasiswa pada 35 siswa yang merupakan anak-anak dari para perajin Dukuh Butuh.

        Sedangkan untuk bidang lingkungan, Program KBA mencoba mengenalkan warga Dukuh Butuh terhadap bola pengolahan limbah sampah keluarga secara lebih modern dan tertata. Caranya dengan membentuk pengurus bank sampah dan membangun infrastruktur pendukung, untuk kemudian mulai membiasakan warga untuk memilah sendiri sampahnya sejak dari rumah.

        ?Sementara untuk kesehatan, kami memprioritaskan layanan untuk warga lanjut usia (lansia), seperti penyuluhan kesehatan dan pemeriksaan rutin secara gratis. Lalu juga pemeriksaan mata bagi para perajin, karena mereka kan juga membutuhkan penglihatan yang tajam. Lalu ada juga bantuan untuk posyandu anak-anak, dan lain-lain,? ungkap Wahyu.

        Bantuan melalui Program KBA ini oleh Astra Group diberikan selama lima tahun, terhitung sejak awal penunjukan Dukuh Butuh sebagai sasaran pada pertengahan tahun 2018 lalu. Setiap tahun, progress dari keseluruhan program bakal dievaluasi secara rutin guna memetakan tingkat keberhasilan program.

        Diharapkan dalam dua hingga tahun ke depan Dukuh Butuh bisa kembali dipromosikan dengan label baru, bukan lagi Kampung Berseri, namun menjadi destinasi wisata budaya di Kawasan Jawa Tengah. Melihat dukungan yang dilakukan Astra Group pada para perajin Dukuh Butuh, sejumlah apresiasi pun dilayangkan. Tak terkecuali dari kalangan pegiat perencana keuangan.

        ?Bagus sih. Kemauan Astra sampai masuk ke desa-desa semacam ini jelas perlu diapresiasi. Apalagi ini untuk segmen budaya seperti ini. Kita bisa lihat, budaya wayang semacam ini perlahan kian terbatas pasarnya. Perlu ada upaya yang cukup inovatif untuk melawan tren itu. Dan dorongan Astra untuk masuk ke sekolah-sekolah itu cukup solutif,? ujar Financial Advisor MoneySmart Indonesia, Ayyi Achmad Hidayah, saat dihubungi terpisah.

        Enterpreneurship

        Namun demikian, terkait minimnya minat generasi muda untuk ikut melanjutkan tradisi membuat wayang kulit ini, Ayyi menilai perlu adanya terobosan-terobosan baru dalam hal cara pandang masyarakat terhadap produk wayang itu sendiri.

        Harus diakui, masyarakat modern saat ini telah terlanjur menstigma wayang sebagai produk yang jadul dan tidak memiliki prestise yang tinggi. Pandangan ini lah menurut Ayyi yang perlu dipatahkan oleh para perajin wayang Dukuh Butuh, tentunya dengan bantuan dari Astra Group.

        ?Yang dikejar anak-anak muda ini untuk kerja di pabrik apa sih? Sedangkan sudah disebutkan bahwa secara penghasilan justru produksi wayang ini yang lebih menjanjikan. Jadi apa yang mereka cari? Prestise bahwa mereka bekerja di perusahaan besar. Itu kuncinya,? tutur Ayyi.

        Pandangan semacam itu, menurut Ayyi, tidak hanya menjangkiti masyarakat desa yang notabene secara umum tingkat pendidikannya terbatas. Bahkan, Ayyi menjelaskan, di kota-kota besar di mana masyarakatnya berpendidikan tinggi pun hingga saat ini masih ada sebagian yang berpandangan demikian.

        Namun, pandangan tentang ?kebanggan bekerja di perusahaan besar? itu perlahan kini mulai terpatahkan dengan hadirnya konsep entrepreneurship. Alhasil, mulai banyak kini anak-anak muda yang ketika lulus dari bangku kuliah, tidak lagi tertarik untuk berebut menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan swasta besar atau perusahaan multinasional.

        ?Secara bertahap anak-anak muda ini kita kenalkan dengan konsep entrepreneurship, konsep kewirausahaan, konsep kemandirian finansial tanpa harus bekerja ikut orang lain, perusahaan lain. Dan akhirnya mereka lebih bangga bikin usaha sendiri. Bikin warung kopi sendiri, bisnis clothing sendiri. Ini mungkin perlu ditularkan juga ke generasi muda di Dukuh Butuh,? tukas Ayyi.

        Dengan pendekatan yang berbeda ini, Ayyi berharap generasi muda Dukuh Butuh ke depan tidak lagi galau dalam menentukan sikap dan pilihan apakah tetap silau dengan nama besar sebuah perusahaan atau pabrik tempat dia bekerja, atau mulai bangga dengan potensi yang dimiliki baik secara pribadi maupun bekal turunan dari keluarga besar.

        Ayyi menegaskan bahwa di era disruptif seperti saat ini, pilihan untuk berwirausaha seperti menjadi perajin wayang adalah sebuah pilihan yang paling tepat dan bijak.

        ?Kenapa? Karena dengan berwirausaha semua kendali ada di kita sendiri. Mau rajin atau malas, akan langsung membawa pengaruh pada apa yang kita dapatkan. Beda dengan kerja di pabrik atau di perusahaan milik orang lain, meski kita rajin, tekun, inovatif dan semacamnya, kalau perusahaannya gulung tikar kita bisa apa? Dengan berwirausaha, maka rejeki kita tidak bergantung pada (perusahaan) orang lain. Itu jauh lebih membanggakan. Dan terbukti secara penghasilan ternyata juga jauh lebih oke. So, kenapa masih ragu jadi perajin wayang?? tegas Ayyi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Taufan Sukma
        Editor: Muhammad Syahrianto

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: