Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di era pimpinan KPK periode 2019-2023 menghentak perhatian dan kesadaran publik. Langkah Bidang Penindakan melalui jalur operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Bupati Sidoarjo, Jawa Timur Saiful Ilah dan kawan-kawan serta Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dkk. pada pekan pertama Januari 2020 adalah musababnya.
Sebelumnya, Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, dan Lili Pintauli Siregar mendapatkan kritik tajam sejak proses uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR hingga dilantik oleh Presiden Joko Widodo dan pekan pertama menjabat sebagai pimpinan KPK.
Baca Juga: KPK Tangkap Komisioner KPU, Ustaz Tengku Zulkarnain: Dia Nggak Mungkin 'Main Sendiri'
Sejumlah pihak menilai, pengesahan dan pembelakuan Undang-Undang (UU) Nomor 19/2019 tentang KPK (UU baru KPK) ditambah komposisi Firli dkk. akan membuat tumpul 'pisau' penindakan yang dilakukan KPK. Satu di antaranya tidak akan ada lagi OTT seperti tahun-tahun dan periode pimpinan KPK sebelumnya. Mereka disebut akan lebih fokus pada pencegahan korupsi.
Bahkan, pada akhir Desember 2019 Indonesia Corruption Watch (ICW) menyampaikan 'ucapan selamat datang' untuk Firli cs yang tak biasa. ICW menyebutkan, lima pimpinan periode 2019-2023 merupakan komposisi pimpinan terburuk sepanjang sejarah KPK.
Tak dinyana, belum genap dua pekan efektif bekerja, Firli dkk. memberikan bukti awal 'pisau' penindakan KPK masih tetap tajam dan OTT tetap ada. Bahkan, penangkapan terhadap Saiful Ilah dkk dan Wahyu Setiawan dkk membuat Firli cs membukukan sejarah baru. OTT terhadap Saiful dkk dan Wahyu dkk merupakan OTT tercepat di awal masa jabatan pimpinan sepanjang KPK serta beruntun.
Tengok saja era pimpinan KPK periode 2015-2019. OTT pertama di masa kepemimpinan Agus Rahardjo dkk dilakukan pada Rabu, 13 Januari 2016. Kala itu tim KPK membekuk beberapa orang, satu di antaranya Damayanti Wisnu Putranti selaku anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDIP periode 2014-2019. Damayanti kini telah menjadi terpidana.
Di masa kepemimpinan Abraham Samad cs (2011-2015), OTT pertama kali baru dilakukan pada Selasa, 3 April 2012. Ketika itu KPK menciduk 12 orang anggota DPRD Provinsi Riau periode 2009-2014 bersama beberapa pihak lainnya.
Dua di antaranya Ketua Panitia Khusus Pembahasan Raperda PON Riau 2012 Muhammad Dunir (Fraksi PKB) dan Wakil Ketua DPRD saat itu Taufan Andoso Yakin. Dunir dan Taufan sudah berstatus mantan terpidana.
Pada waktu kepemimpinan Antasari Azhar cs (2007-2011), OTT pertama yang berhasil dilakukan KPK terjadi pada Rabu, 9 April 2008. Saat itu tim KPK menangkap Al-Amin Nur Nasution selaku anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PPP periode 2004-2009 bersama beberapa orang lainnya. Al-Amin telah selesai menjalani masa pidana penjara.
Di era pimpinan KPK periode pertama, Taufiequrachman Ruki (2003-2007), penangkapan pelaku sesaat terjadi transaksi dugaan suap baru dilakukan pada 2005. Lebih tepatnya Jumat, 8 April 2005.
Hari itu tim KPK membekuk Mulyana W Kusumah selaku anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Khairiansyah Salman selalu auditor sekaligus Tim Pemeriksaan Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Pengadaan Kotak Suara Pemilu 2004, dan pihak lain. Penangkapan terhadap Mulyana dan Khairiansyah adalah OTT pertama yang dilakukan KPK.
Maka tidak heran dalam rilis resmi yang disampaikan KPK pada 2019 tercantum bahwa KPK mulai melakukan OTT sejak 2005. Sebagai catatan, cukup jauhnya jarak OTT dengan waktu awal kepemimpinan Ruki cs karena beberapa alasan.
Di antaranya, KPK secara lembaga sedang membangun kapasitas lembaga, memperkuat sumber daya manusia, membangun sistem internal dan Standar Operasional Prosedur (SOP), memupuk soliditas internal, hingga berupaya meraih kepercayaan publik tentang betapa pentingnya keberadaan KPK.
"Kami di KPK sepakat, pimpinan berlima dan segenap pegawai KPK kalau ada yang melakukan perbuatan sehingga proyek dan program nasional gagal dalam rangka mewujudkan tujuan negara, pasti kita akan melakukan penindakan terukur sebagaimana hukum yang berlaku," ujar Firli Bahuri di kantor Kemenko Polhukam, Selasa (7/1/2020) sore.
Baca Juga: Ini Dia Kronologi OTT Wahyu Setiawan Saat Dicokok KPK
Pernyataan ini disampaikan Firli selepas Firli dan empat pimpinan KPK beserta jajaran bertemu dan membahas kerjasama dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Moh Mahfud MD.
Hakikatnya jika menengok ke belakang saat tahap seleksi calon pimpinan KPK periode 2019-2023 oleh Panitia Seleksi hingga uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, akan ditemukan bahwa lima pimpinan KPK saat ini telah mengkritik secara keras penindakan yang dilakukan KPK dengan cara OTT.
Nurul Ghufron menyatakan, keberhasilan pemberantasan korupsi bukan diukur dari seberapa banyak koruptor ditangkap KPK. Firli Bahuri menegaskan, KPK tidak boleh mengendepankan OTT dalam pemberantasan korupsi tapi membangun kasus dengan mengusut korupsi dengan kerugian negara.
"Kita banyak orang ketahan OTT, mohon maaf karena OTT banyak sekali, saya sedih sekali. Berarti ada yang harus kita kerjakan agar kita bisa mengembalikan kerugian negara," ujar Firli saat fit and proper test di hadapan para pimpinan dan anggota Komisi III DPR pada Kamis, 12 September 2019.
Alexander Marwata menyebutkan, sebenarnya dia tidak bahagia dengan OTT yang selama ini dilakukan KPK. Lili Pintauli Siregar mengkritik, pelaksanaan OTT yang mengakibatkan besarnya pengeluaran anggaran KPK tapi nilai OTT yang disita hingga dirampas untuk negara sangat kecil.
Ghufron, Firli, Lili, dan juga Nawawi Pomolango mengkritik KPK tidak melakukan pencegahan korupsi secara maksimal dan serius. Karena sampai saat fit and proper test berlangsung tidak ada informasi yang diterima oleh publik atas pencegahan korupsi yang dilakukan KPK dan capaiannya.
Nawawi mempertanyakan salah satu OTT yang dilakukan KPK kemudian perkaranya ditangani Nawawi selaku hakim apakah benar OTT atau jebakan. Menurut Nawawi, OTT adalah hal mudah untuk mencari alat bukti. Karenanya Nawawi punya istilah sendiri ihwal kerja dan kinerja KPK termasuk OTT.
"Kok kinerja kayak orang pulang dari dugem. Orang pulang tengah malam jalan sempoyongan kiri kanan, enggak sampai-sampai. Kok lembaga super, kompetensi luar biasa tapi eh hasilnya hanya biasa-biasa," ujar Nawawi saat fit and proper test pada Rabu, 11 September 2019.
Bagi Nawawi, OTT yang selama ini dilakukan KPK tidak berimbas pada peningkatan skor indeks persepsi korupsi Indonesia. Bahkan menurut dia, OTT yang dilakukan dan dipertontonkan KPK membuat pelaku usaha takut berinvestasi di Indonesia.
"Kalau tiap hari kita dipertontonkan, pejabat kita ditangkap, di luar negeri sana orang juga mikir. Apa tidak ada orang baik lagi di sini. Tiap hari ditangkap dua, tiga pejabat. Bagaimana mereka mau menanamkan modal," bebernya.
Perdebatan dan Konsekuensi
Beberapa orang sumber Bidang Penindakan KPK menyatakan, OTT terhadap Saiful Ilah dkk dan Wahyu Setiawan dkk didasarkan pada penyelidikan tertutup yang sudah dilakukan sejak beberapa bulan lalu. Surat perintah dimulainya penyelidikan (sprinlidik) dan surat perintah penyadapan (sprindap) diteken pimpinan KPK era Agus Rahardjo cs.
Saat tampuk pimpinan KPK berganti ke Firli Bahuri dkk, proses penyelidikan disertai pemantauan di lapangan dan pemantauan saluran komunikasi para pihak dilakukan dengan penyadapan.
Baca Juga: 'Partai Ibu' Kena Hajar KPK, Eh... ICW Malah Ragu
Sejak masa induksi pimpinan KPK periode 2019-2023 pada akhir Desember 2019 hingga tahun mulai berganti, Firli dkk menerima informasi dan laporan perkembangan penyelidikan dan penyidikan kasus hingga persidangan dan eksekusi perkara. Dua di antaranya penyelidikan tertutup sehubungan dengan Saiful Ilah dkk dan Wahyu Setiawan dkk.
Beberapa hari sebelum OTT dilakukan, tim yang menangani Saiful dkk maupun tim yang menangani Wahyu dkk bimbang. Mereka terlibat perdebatan. Pertanyaan paling utama adalah apakah OTT akan tetap dilakukan dengan berlakunya UU Nomor 19/2019 (UU baru KPK) yang berlaku sejak 17 Oktober 2019 dan pelantikan disertai resmi bertugasnya Dewan Pengawas, Tumpak Hatorangan Panggabean?
Di antara anggota tim ada yang menyebutkan, penyelidikan dan penyadapan sudah dilakukan sejak periode sebelumnya dan saat itu belum ada Dewan Pengawas. Karenanya, OTT tetap dapat dilakukan dengan mengacu ketentuan Pasal 69D UU Nomor 19/2019 yang berbunyi, 'Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah.'
Anggota tim lainnya tetap masih memiliki kekhawatiran lain, bagaimana jika OTT dilakukan akan berujung gugatan praperadilan. Perdebatan itu akhirnya secara bulat berakhir, OTT tetap dilakukan jika semua proses telah terpenuhi.
Perdebatan yang hampir sama ketika perkembangan informasi dua kasus ini disampaikan ke Deputi Penindakan dan lima pimpinan KPK. Singkat cerita, akhirnya tim memutuskan melakukan OTT saat proses pemantauan terakhir final, alat bukti yang cukup sudah terpenuhi, dan telah terjadi serah-terima uang oleh Saiful dkk serta Wahyu dkk. Penangkapan tersebut dilaporkan ke pimpinan.
Lima pimpinan secara bulat memutuskan, para pihak yang ditangkap secara beruntun tetap ditangkap dan dibawa ke KPK untuk menjalani proses lebih lanjut. Mereka sepakat siap menghadapi apapun anggapan dan konsekuensi yang akan timbul, termasuk potensi gugatan praperadilan.
"Memang di internal kita perdebatan itu cukup kuat. Tapi akhirnya kita putuskan, karena semuanya sudah terpenuhi tetap kita lakukan OTT. IS, Bupati Sidoarjo dan pihak-pihak lain terus WS, Komisioner KPU sama pihak lain juga kita tetap bawa ke KPK. Kita sudah siap konsekuensi apapun," ujar seorang sumber.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum