Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bahaya! Peneliti Bilang Peningkatan Suhu di Kutub Utara Tak Masuk Akal

        Bahaya! Peneliti Bilang Peningkatan Suhu di Kutub Utara Tak Masuk Akal Kredit Foto: National Geographic/Bill Rankin
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kawasan Arktik di kutub utara mengalami peningkatan termperatur yang cukup signifikan. Bahkan, perubahan suhu di kawasan tersebut dua kali lebih cepat dibandingkan kecepatan rata-rata secara global.

        Dilansir dari Nature pada Selasa (21/1/2020), diperkirakan hal itu terjadi karena adanya gas yang mengikis lapisan ozon. Dalam sebuah penelitian menyebut, gas yang mengikis lapisan ozon itu memiliki kontribusi sebesar 50 persen terhadap pemanasan yang terjadi di Arktik.

        Baca Juga: Wajib Lihat! Ternyata Kutub Utara Mars Enggak Bopeng, Tapi....

        Hal ini sendiri ditegaskan berdasar pengamatan di Arktik yang dilakukan pada 1955 hingga 2005. Pengamatan itu pun memperjelas perubahan iklim yang terjadi di kawasan itu terbilang tidak proporsional dan telah membuat para ilmuwan sempat kebingungan.

        Peningkatan temperatur secara ekstrem ini sendiri sendiri disebut dengan amplifikasi Arktik. Fenomena ini pun otomatis membuat gumpalan es yang berada di lautan Arktik meleleh dengan sangat cepat.

        Peneliti dari Scripps Institution of Oceanography California, Mark England mengatakan, salah satu gas yang berperan dalam pengikisan ozon adalah kloroflurokarbon atau CFC. Gas ini memicu peningkatan suhu ribuan kali lebih besar dibanding karbon dioksida.

        Dalam penelitian yang dilakukan dengan teknik simulasi ini, saat tidak menghiraukan CFC, rata-rata peningkatan temperatur di Arktik hanya sebesar 0,82 derajat celcius. Kemudian, ketika CFC diperhitungkan, angka peningkatanya melonjak jadi 1,59 derajat celcius.

        Ilmuwan dari National Center for Atmospheric Research Colorado, Marika Holland mengatakan, penelitian itu merupakan penelitian model tunggal yang cermat.

        "Hasilnya cukup masuk akal. Fenomena itu berhasil didokumentasikan dengan baik," kata Marika.

        Tapi, ia menggarisbawahi bahwa kompleksitas model iklim membuat penelitian itu kesulitan untuk menyatakan dengan pasti seberapa besar dampak CFC bagi Kutub Utara.

        Ilmuwan lain dari NASA Goddard Space Flight Center, Susan Strahan pun mengatakan belum terlalu yakin dengan kesimpulan dari penelitian itu.

        Ia menilai, penelitian itu perlu argumen yang lebih kuat dengan penjelasan fisik yang jelas untuk amplifikasi model.

        Diharapkan, penelitian ini pun melakukan replikasi dalam berbagai model agar perkiraan dampaknya bagi pemanasan Arktrik dapat lebih jelas.

        Apalagi, penggunaan CFC telah ditekan sejak tahun 1989 demi dapat melindungi ozon.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: