Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Serius, Omnibus Law Ciptaker Bakal Genjot Investasi?

        Serius, Omnibus Law Ciptaker Bakal Genjot Investasi? Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
        Warta Ekonomi, Bandung -

        Secara literatur Omnibus Law (OBL) akan menjadi sumber hukum terbesar yang memayungi Undang Undang lain. OBL ini bakal mengganti, merevisi, atau mencabut Undang Undang lain yang sudah tidak mampu memangku sejumlah permasalahan lain. 

        Untuk itu, Pemerintah berinisiatif mendorong lahirnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Draft tersebut merupakan komitmen tegas Pemerintah untuk mempermudah investasi  yang mampu menciptakan lapangan kerja baru. 

        Demikian diungkapkan Ekonom Universitas Padjadjaran Aldrin Herwany dalam seminar daring wartawan dalam seminar daring wartawan Pokja Gedung Sate bertajuk "Aspirasi untuk RUU Cipta Kerja dalam Membangun Kembali Sektor Ketenagakerjaan, Industri, dan UMKM Pasca Pandemi Covid-19" Kamis (7/5/2020) sore.

        Aldrin menyebutkan meski Omnibus Law RUU Cipta Kerja mendorong investasi tapi tidak begitu mendesak bagi UMKM. Pasalnya, UKM bisa tumbuh sendiri.

        Baca Juga: Hari Buruh di tengah Pandemi, PKS Soroti Banyak PHK dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja

        Baca Juga: Partai Demokrat dan PKS Minta RUU Omnibus Law Ditunda, tapi Bukan Dicabut

        Aldrin yang juga Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Bandung menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja  bisa jadi solusi tepat di masa-masa setelah krisis kesehatan dan pandemi yang terjadi saat ini. 

        Prinsip RUU Cipta Kerja yang bertujuan mempermudah, mempercepat, dan menghilangkan kerumitan melakukan investasi sangat tepat diterapkan untuk mengantisipasi dampak ekonomi karena pandemi. 

        "Apabila nanti diterapkan, Omnibus Law ini tentu lebih fleksibel untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan pasca masa abnormal dan krisis seperti saat ini," ujarnya.

        Banyak aturan dan regulasi yang tumpang tindih selama ini yang membuat kecepatan realisasi investasi kita terhambat baik di pusat atau daerah. Kemudahan investasi dan kepastian berbisnis, jadi hal yang paling dicari oleh para investor setelah masa krisis berakhir. Sementara, kondisi Indonesia sebelum Covid-19 saja masih tertinggal dan tidak kompetitif.

        "Ini tidak bisa lagi terjadi karena ekonomi kita sudah terpukul karena pandemi," tegasnya.

        Kesulitan investasi di Indonesia terjadi karena tumpang tindih dan aturan pusat, daerah, dan kementerian juga menyebabkan perizinan terkait bisnis juga sangat sulit didapatkan. Bahkan Indonesia paling bontot di ASEAN.

        "Makanya, payung Omnibus Law yang sifatnya sapu jagat, membasmi aturan tumpang tindih, ini bisa menyelesaikan masalah ini," ujarnya.

        Pada kesempatan yang sama, Pakar ketenagakerjaan dari Indonesian Consultant at Law (IClaw) Hemasari Dharmabumi melihat Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja mengembalikan fungsi regulasi dan negara sebagai garis pengaman. Maka, tugas pemerintah terkait ketenagakerjaan pada hakikatnya adalah memberikan garis pengaman dan melindungi tenaga kerja. 

        Dia menilau selama ini, UU Ketenagakerjaan hanya dimanfaatkan untuk merongrong peningkatan kesejahteraan. Padahal, kesejahteraan itu harusnya dilakukan berdasarkan proses perundingan antara pekerja dengan pengusaha. Bahkan Kondisi di lapangan hari ini, para serikat pekerja justru memanfaatkan aturan untuk terus berupaya meningkatkan kesejahteraan. 

        "Ini tidak ada relevansi antara serikat pekerja dengan pekerjanya. Harusnya, serikat pekerja ini menjembatani dan memfasilitasi peningkatan kesejahteraan dengan para pengusaha bukan terus menekan pemerintah," tegasnya.

        Aturan ketenagakerjaan saat ini juga membuka ruang permainan mafia ketenagakerjaan. Realisasi penerapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) sektoral yang terlalu tinggi, membuat mayoritas perusahaan tidak bisa memenuhinya. "Apa yang terjadi malah muncul praktik mafia pengawasan regulasi ketenagakerjaan," imbuhnya.

        Hemasari juga menambahkan penerapan UMK sektoral yang terlalu tinggi, membuat pengusaha di bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tidak akan bisa memenuhi kewajibannya. Padahal, UMKM adalah salah satu sektor yang menyerap paling banyak tenaga kerja di Indonesia. 

        "Semakin banyak jumlah UMKM, kalau terus harus mengikuti upah sektoral, maka dapat berarti semakin banyak orang bekerja yang tidak terlindungi oleh regulasi. Ini kan tidak baik," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Saepulloh
        Editor: Vicky Fadil

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: