Kinerja perdagangan dan investasi internasional merosot akibat pandemi Covid-19. World Trade Organization (WTO) memperkirakan perdagangan internasional menyusut 13-32%. UNCTAD pun memprediksi aliran investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) bakal menyusut hingga 30-40% tahun ini.
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta menyarankan Indonesia untuk menempatkan diri di rantai pasok global atau Global Value Chains (GVC). Pasalnya banyak perusahaan dari berbagai belahan dunia tengah mencari rantai pasok baru.
Pemberlakuan karantina di sebagian wilayah China menghentikan kegiatan industri di negara tersebut. Padahal perusahaan-perusahaan multinasional tersebut bergantung pada kontraktor di Negeri Tirai Bambu itu melalui skema outsourcing.
Baca Juga: Pakar Bawa Kabar Buruk: Jangan Mimpi Covid-19 Berakhir
Pemerintah berbagai negara pun khawatir akan terhentinya pasokan bahan baku obat. Mereka mulai mendorong perusahaan-perusahaan farmasi multinasional untuk mencari sumber pasokan dari negara lain. Restrukturisasi GVC inilah yang membuka peluang penting untuk dibidik.
US Food and Drug Administration (FDA) mencatat 31% dari fasilitas produksi Active Pharmaceutical Ingredients (API) yang ada di daftar mereka berada di China dan India. Uni Eropa menyebut 80% produk obat di Eropa juga bergantung pada dua negara tersebut.
Sementara itu, India, salah satu produsen utama obat generik di dunia, ternyata mengimpor 70% bahan API-nya dari China.
Andree bilang, "Rantai pasok global farmasi sudah mulai bergerak ke arah outsourcing. Perusahaan farmasi tidak lagi memproduksi semuanya sendiri, tetapi mulai menggunakan berbagai kontraktor spesialis. Kelihatannya, di mata rantai inilah posisi China sangat kuat."
"Peluang-peluang dari usaha mengurangi ketergantungan rantai pasokan obat terhadap China harus ditangkap dan dieksekusi dengan baik. Agar Indonesia masuk ke dalam GVC sektor farmasi, tentu pemerintah harus mengerti bagaimana GVC bekerja dan serius membenahi berbagai hambatan regulasi agar Indonesia bisa jauh lebih menarik dibandingkan produsen farmasi kelas kakap, seperti China dan India," imbuhnya menyarankan.
Indonesia harus berupaya menembus pasar farmasi dunia. Bukan hanya fokus pada pasar dalam negeri. Pasar farmasi dalam negeri relatif masih kecil dibandingkan Amerika dan Jerman yang 50 kali lipat besarnya daripada Indonesia. China, dengan kapasitas produksi API yang sudah terpakai 70% dan mampu memproduksi 1.500-2.000 jenis bahan baku, ukuran pasarnya 12 kali lebih besar dari negeri ini. India pun pasarnya dua kali lipat dari Indonesia dan baru menggunakan 30-40% dari kapasitas produksi API-nya.
"Peluang menangkap restrukturisasi mata rantai pasokan global bisa saja sia-sia kalau Indonesia tidak membenahi regulasi. Rumit dan berlapisnya regulasi sudah sering dikeluhkan, penyebab rendahnya pertumbuhan FDI di Indonesia."
Data BKPM menyebut pertumbuhan FDI per triwulan nyaris 0% sejak triwulan II 2019. Data Bank Dunia juga menunjukkan sebanyak 137 perusahaan Jepang merelokasi usahanya ke Asia Tenggara pada 2017 dan hanya 10 perusahaan yang masuk ke Indonesia. Dua tahun setelah itu, 33 perusahaan pindah dari China, tapi tidak ada yang masuk ke Indonesia.
Regulasi yang berlapis-lapis juga tampak di sektor farmasi. "Ketika Presiden Jokowi ingin mengembangkan industri farmasi di 2016, beliau memberikan instruksi ke 12 kementerian dan lembaga untuk mengatur sektor ini. Tentu ini meningkatkan risiko tumpang tindihnya peraturan," ujarnya.
Andree menjelaskan, pemerintah menetapkan berbagai peraturan yang kurang cocok dengan tren GVC di farmasi. Undang-Undang (UU) 13/2016 tentang Perlindungan Kekayaan Intelektual menyebut jika produk yang dipatenkan di Indonesia tidak diproduksi di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, paten produk tersebut bisa dicabut.
Daftar Negatif Investasi yang tertuang dalam Perpres 44/2016 juga tidak mengizinkan kepemilikan asing penuh untuk pabrik obat jadi di Indonesia. Hal-hal ini cenderung membatasi ruang gerak perusahaan farmasi, apalagi jika mereka ingin menempuh jalur outsourcing.
Muncul pula peraturan baru yang berpotensi multitafsir. Misalnya, Permen Perindustrian 16/2020 tentang perhitungan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk produk farmasi. Walaupun saat ini tidak ada sanksi, peraturan ini bisa saja menimbulkan risiko pengetatan di masa mendatang bagi calon investor.
Satu perkembangan positif, menurut Andree, adalah rencana pemberian insentif pajak hingga 300% untuk perusahaan yang melakukan kegiatan penelitian di Indonesia dan meneruskan sampai tahap komersialisasi.
Namun, sekali lagi, dia mengingatkan insentif ini sepertinya ditujukan untuk perusahaan farmasi yang melakukan kegiatan dari hulu ke hilir. Kurang mengena untuk perusahaan berspesialisasi di tengah-tengah mata rantai, misalnya hanya melakukan kegiatan produksi.
"Kebijakan yang dibuat hendaknya berwawasan lebih luas. Strategi untuk fokus pada kebutuhan domestik terlalu kecil untuk mengubah tren farmasi global. Kemenperin dan Kemenkes harus fokus menghubungkan perusahaan lokal dengan pasar global," ungkapnya.
Andree juga menyebut penawaran insentif tidak bisa menggantikan reformasi struktural karena hanya strategi jangka pendek dan menguras APBN. Reformasi ini bisa diawali dengan menggolkan revisi UU 13/2016 melalui RUU Cipta Kerja.
"Pemerintah juga perlu meninjau ulang peraturan-peraturan menteri yang tidak sejalan dengan tren perkembangan GVC. Memaksakan produksi lokal, misalnya, malah menghalangi investasi asing. Pembuatan peraturan baru di sektor farmasi harus hati-hati supaya tidak terjadi tumpang tindih yang malah menghambat partisipasi Indonesia di GVC farmasi," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: