Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menyatakan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menggelontorkan dana mencapai Rp90,45 miliar hanya untuk influencer sejak 2014.
Ia memaparkan bahwa ICW menggunakan kata kunci influencer dan key opinion leader di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Hasilnya terdapat jumlah paket pengadaan mencapai 40 dengan kata kunci tersebut.
Baca Juga: Masiku Masih Buron, ICW Sebut Kelompok Ini yang Mengganjal
Baca Juga: Mahfud MD Mau Bentuk Tim Pemburu Koruptor, Eh ICW Langsung...
"Anggarannya mencapai Rp90,45 miliar. Anggaran belanja bagi mereka (influencer) semakin marak setelah 2017, mulai ada sejak itu. Hingga akhirnya meningkat di tahun-tahun berikutnya," ujarnya, kemarin.
Terkait itu, Pegiat media sosial Denny Siregar membuat catatan panjang di akun FB-nya, dengan judul, "Para Dinosaurus", Kamis malam (20/8/2020).
"Indonesian Corruption Watch tiba2 mencoba membangun framing bahwa Jokowi sedang menghambur2kan uang utk membayar influencer sampe 90 miliar rupiah," tulisnya.
"Mungkin ICW lagi suntuk gada kerjaan, atau mungkin didalamnya isinya dinosaurus semua. Mereka lupa, bahwa ini era media sosial bukan lagi era media mainstream," lanjutnya.
Ia pun mempertanyakan memangnya kenapa kalau pemerintahan Jokowi pake influencer untuk sosialisasikan programnya?
"Jelas jauh lebih murah daripada harus bayar iklan di tv 25-50 juta rupiah per 30 detik. Atau puluhan juta kalau pasang di media online. Atau malah miliaran rupiah per titik kalau harus pake bilboard," tuturnya.
"Saya dulu pernah nulis bahwa media online atau mainstream itu seperti taksi dan ojek yang berjaya di zamannya. Tapi ketika ojek online datang, mereka ngamuk bahkan sampe menghadang di jalan," lanjutnya.
"Mau gimana lagi? Berubah atau mati, itu saja poinnya..," ungkapnya.
Berikut catatan lengkap Denny Siregar:
PARA DINOSAURUS
Saya lucu baca berita ini..
Indonesian Corruption Watch tiba2 mencoba membangun framing bahwa Jokowi sedang menghambur2kan uang utk membayar influencer sampe 90 miliar rupiah.
Mungkin ICW lagi suntuk gada kerjaan, atau mungkin didalamnya isinya dinosaurus semua. Mereka lupa, bahwa ini era media sosial bukan lagi era media mainstream.
Memangnya kenapa kalau pemerintahan Jokowi pake influencer utk sosialisasikan program2nya ?
Jelas jauh lebih murah daripada harus bayar iklan di tv 25-50 juta rupiah per 30 detik. Atau puluhan juta kalau pasang di media online. Atau malah miliaran rupiah per titik kalau harus pake bilboard.
Sudah sejak lama sebenarnya ada kecemburuan luar biasa dari media mainstream kepada para influencer. Mereka terus menyerang dengan istilah "buzzeRp". Bahkan Tempo sampai harus menyediakan halamannya hanya khusus membahas tentang itu.
Media2 mainstream dan online, sebenarnya pendapatan mereka dulu banyak dari sosialisasi program pemerintah pusat dan daerah. Tapi karena pemerintah sekarang lagi ketat biaya, mereka alihkan sosialisasinya ke influencer. Lebih murah dan efektif.
Inilah yang membuat media online dan wartawan2 dinosaurus dan sombong itu, ngamuk. Mereka merasa, kasta mereka lebih tinggi dari para influencer/blogger. Mereka bahkan tidak belajar dari jatuhnya Nokia dulu karena sombong dan meremehkan perubahan zaman ketika orang sudah pelan2 pake android.
ICW juga mungkin kayaknya sama, kehilangan pendapatan. Biasanya mereka dapat "amplop" kalo nulis atau kasih berita di media online, sekarang gak lagi. Jadilah cari-cari alasan untuk mengutik kebijakan pemerintah.
Saya dulu pernah nulis bahwa media online atau mainstream itu seperti taksi dan ojek yang berjaya di zamannya. Tapi ketika ojek online datang, mereka ngamuk bahkan sampe menghadang di jalan.
Tapi dunia sudah berubah, suka atau tidak suka. Media online atau mainstream, harus bisa menurunkan harga dirinya untuk bekerjasama dengan influencer supaya ada yang baca beritanya. Mirip dengan Bluebird yang mau beradaptasi dan bekerjasama dgn Gojek kalau gak terlibas zaman.
Saya sendiri dulu, sering diminta untuk menulis atau menshare berita di media online. Disana saya dapat penghasilan. Karena ada juga media online yang sadar, bahwa jendela untuk masuk ke portal beritanya paling efektif lewat media sosial.
Lihat saja, kalau ga waspada, Tempo, Kompas, Detik dan banyak media online lainnya akan hancur kalau tidak mau beradaptasi dan berjalan seiring dgn influencer atau media sosial.
Mau gimana lagi ?
Berubah atau mati, itu saja poinnya..
Tapi ya, kalau masih para dinosaurus yang pimpin perusahaan media, alamat mereka bentar lagi punah. Harus berubah, cari yang muda2 sebagai pimpinan yang bisa adaptasi dgn situasi.
Atau kelak cuman bisa seruput kopi di warkop aja sambil gigit jari. Mana gelasnya bau sabun lagi..
Seruput ah...
Denny Siregar
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil