Kementerian Sosial (Kemensos) mulai mencari berbagai opsi untuk memastikan kualitas gizi dari komponen bantuan sosial (bansos), salah satunya pada komoditas beras.
Menteri Sosial Juliari Batubara berkeinginan, bansos beras yang disalurkan ke keluarga penerima manfaat (KPM) melalui Bantuan Pangan Non-Tunai atau Program Sembako bisa memberikan kontribusi nyata dalam penanganan stunting.
"Saya meminta Badan Pendidikan Penelitian dan Penyuluhan Sosial (BP3S) untuk mengkaji hal ini. Pada prinsipnya tentu saja, Kemensos mendukung penurunan angka stunting. Itu bisa didorong bila bisa kita pastikan bahan pangan untuk KPM memang mengandung asupan gizi yang baik," kata Mensos dalam keterangannya, Rabu (9/9/2020).
Baca Juga: Bukan BLT, Buruh Menjerit Pengen Naik Gaji Pak Jokowi!
Baca Juga: Para Pegawai BUMN Ini Tak Digaji 7 Bulan, Pak Erick Ngapain?
Mensos juga berharap nantinya semua jenis bahan makan yang disediakan di e-warong memenuhi asupan gizi. Ia menekankan, komponen bansos secara bertahap dapat diganti apabila ada bahan makanan yang kurang memenuhi asupan gizi.
"Namun itu kan tidak bisa dengan lisan langsung kita minta diganti. Kebijakan yang diambil harus didasarkan pada data dan informasi yang valid," tegasnya.
Dikatakan Mensos, pihaknya terus memperkuat kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial dengan berbasis riset. Adapun salah satu informasi yang dianggap layak menjadi rujukan adalah hasil kajian dari institusi penelitian dan pengkajian seperti BP3S.
"Dalam mengganti bahan makanan, kan tidak bisa begitu saja kita ganti. Harus ada dasarnya, salah satunya berdasarkan riset. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang berbasis riset," terangnya.
Lebih lanjut, Mensos menekankan aspek promotif, edukasi, dan sosialisasi pada keluarga harus terus digencarkan. Dari sana, pemahaman untuk pencegahan stunting dapat ditingkatkan.
"Akses pelayanan kesehatan bagi ibu hamil maupun balita juga harus dipastikan tetap berlangsung, dan tidak berhenti di tengah pandemi," tandasnya.
Untuk diketahui, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat balita stunting atau yang berstatus gizi sangat pendek dan pendek jumlahnya mencapai 30,8%. Jika dikalkulasi, di Indonesia setidaknya ada sebanyak 7,3 juta dari total 23,7 juta bayi berusia 0-4 tahun yang mengalami stunting.
Terkait dampaknya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pernah mengkaji bahwa Indonesia terancam kehilangan potensi pendapatan hingga Rp250-300 triliun atau sekitar 3% dari produk domestik bruto tiap tahunnya akibat stunting. Diyakini, produktivitas anak stunting ketika dewasa diprediksi lebih rendah 20% jika dibandingkan dengan anak normal.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Shanies Tri Pinasthi
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: