Desas-desus liar tentang virus corona membuat sebagian warga menolak pengujian Covid-19 di Negara Bagian Punjab, India utara, seperti dilaporkan Arvind Chhabra dari BBC Punjabi.
India saat ini merupakan negara kedua dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi kedua di dunia setelah Amerika Serikat, dengan lebih dari 4,3 juta kasus dan 73.000 kematian.
Baca Juga: Gak Gubris Lonjakan Kasus Corona, India Bakal Buka Taj Mahal
"Organ manusia diselundupkan," kata Sonia Kaur, yang tinggal di sebuah desa di distrik Sangrur, Punjab, kepada BBC. "Bukan hanya penduduk desa, tetapi seluruh dunia takut akan hal ini. Media sosial penuh dengan berita seperti itu."
Kaur mengatakan dia telah mendengar organ manusia diambil dengan kedok diagnosis dan pengobatan virus corona.
Dia menceritakan banyak orang di pedesaan Punjab ketakutan sehingga skeptis terhadap tes Covid-19.
Ketakutan itu dipicu desas-desus bahwa Covid-19 adalah tipuan, bahwa orang-orang yang tidak terinfeksi Covid-19 dibawa ke pusat perawatan dan mereka dibunuh untuk diambil organnya, serta tubuh mereka ditukar untuk menghilangkan kecurigaan.
Gabungan rasa takut, cemas, dan akses mudah ke media sosial, terutama WhatsApp, telah mempercepat penyebaran rumor tak berdasar ini dalam bentuk pesan dan video palsu.
Hal ini menimbulkan protes bahkan serangan terhadap petugas kesehatan.
Desa Kaur adalah salah satu dari beberapa desa di Sangrur yang tidak mengizinkan petugas kesehatan untuk mengumpulkan sampel pengujian.
Kerumunan orang melempari mereka dengan batu dan berteriak, "Pergi, kami tidak ingin diuji", sampai mereka pergi.
Pemerintah sudah mengeluarkan video yang untuk memadamkan ketakutan dan menghilangkan informasi yang salah.
Pemerintah juga telah berkampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan membantah rumor itu.
"Semua ini rumor yang tidak berdasar," kata Menteri Kesehatan Punjab, Balbir Singh Sidhu, kepada BBC. "Tidak ada orang yang bisa menyentuh orang yang meninggal karena Covid. Mayatnya akan dibungkus dan langsung dibawa ke krematorium. Pengambilan organ tidak terjadi."
Meskipun informasi yang salah tentang Covid-19 tidak hanya terjadi di Punjab, penolakan terhadap pengetesan jauh lebih keras dan tersebar luas di sini.
Penolakan itu menghalangi upaya pemerintah negara bagian untuk mengendalikan penyebaran virus.
Hingga 8 September, negara bagian itu telah melaporkan 65.583 kasus dan 1.923 kematian.
Angka itu terus meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Para pejabat mengatakan salah satu alasan peningkatan kematian adalah tes yang tertunda karena orang terlambat melapor ke rumah sakit untuk berobat.
Sucha Singh, 60, kehilangan istrinya Kulwant Kaur karena Covid-19. Namun dia tetap percaya bahwa virus corona adalah konspirasi.
"Ini semua omong kosong. Tidak ada corona. Jika ada virus itu, ibu istri saya yang berusia 80-an tidak akan hidup dan sehat saat ini."
Dia bilang dia menyesal membawa istrinya ke rumah sakit untuk mengobati diabetesnya.
"Mereka tidak pernah merawatnya karena diabetes dan terus mengatakan itu corona, corona," tambahnya.
Singh menegaskan bahwa sesuatu yang lebih jahat sedang berlangsung.
"Kami mendengar bahwa dokter dan pemerintah dibayar untuk menunjukkan lebih banyak korban Covid-19. Kami juga mendengar bahwa orang-orang diseret keluar dari rumah mereka dan kemudian dibunuh."
Informasi yang berubah tentang Covid-19, dan berbagai dampak yang ditimbulkan pada orang-orang, tak peduli usia mereka dan di mana mereka tinggal, tampaknya memicu kesalahan informasi.
"Sebelumnya orang-orang tua sekarat. Sekarang bahkan kaum muda pun sekarat. Bagaimana bisa tiba-tiba bahkan anak-anak muda pun terinfeksi?" tanya Satpal Singh Dhillon, kepala desa yang dewan desanya tidak mengizinkan pengetesan Covid-19.
"Kami sering melihat bahwa yang meninggal adalah seorang lelaki tua tetapi keluarganya mendapatkan tubuh seorang wanita muda. Jadi, bagaimana orang-orang bisa percaya dalam skenario seperti itu?"
Tidak mungkin untuk melacak asal usul rumor ini, tetapi beberapa - seperti tentang tubuh yang ditukar - bisa jadi dipicu oleh kesalahan.
Pada bulan Juli, dua bersaudara laki-laki yang ayahnya meninggal karena Covid-19 menyatakan yakin ayah mereka masih hidup saat mereka menerima jenazah seorang perempuan.
Hal ini berujung pada penyelidikan dan para pejabat kemudian mengakui telah terjadi kesalahan, tetapi mengatakan bahwa ayah kedua laki-laki itu juga telah meninggal dan dikremasi oleh keluarga jenazah perempuan tersebut.
Meskipun demikian, rumor tersebut telah bertahan kuat.
"Kami tidak menentang pengujian, tetapi kami jelas menentang orang yang dibawa secara paksa oleh petugas kesehatan," kata Sukhdev Singh Kokri dari distrik Moga.
"Orang-orang berada dalam kondisi normal ketika dibawa pergi, tetapi mereka kembali dalam keadaan meninggal dengan organ mereka diambil."
Dia menuduh pemerintah membesar-besarkan angka Covid-19 untuk mengendalikan masyarakat dan mengakhiri protes.
Para pejabat mengatakan tidak mengerti mengapa ada yang memulai rumor semacam ini, atau mengapa rumor menjadi sampai seperti itu di Punjab.
Tetapi wakil direktur kesehatan negara bagian, Arvinder Gill, mengatakan ada protes serupa yang dipicu oleh rumor selama kampanye vaksinasi polio dan rubella.
"Saya ingat selama kampanye vaksinasi polio, orang-orang menolak tim kami dengan mengatakan bahwa vaksin akan membuat anak-anak mereka impoten. Selama kampanye rubella, orang menentangnya dengan mengatakan vaksin bisa menyebabkan demam dan bisa berakibat fatal."
Gill menambahkan bahwa resistensi itu bisa menjadi bencana karena orang tidak akan tahu jika mereka terinfeksi.
"Mereka akan terinfeksi dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kondisi mereka sendiri akan memburuk. Ketika mereka datang ke rumah sakit, fasilitas medis mungkin tidak dapat membantu mereka."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: