Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Semester I 2020: XL Axiata Kalahkan Telkom

        Semester I 2020: XL Axiata Kalahkan Telkom Kredit Foto: Tanayastri Dini Isna
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sektor telekomunikasi menjadi salah satu yang paling dielu-elukan selama pandemi Covid-19. Bagaimana tidak, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menuntut aktivitas masyarakat untuk beralih dari offline menjadi serba online, mulai dari pembelajaran jarak jauh (PJJ) hingga work from home (WFH).

        Alhasil, kebutuhan terhadap jaringan dan koneksi internet menjadi lebih besar daripada biasanya. Hal ini yang kemudian diklaim menjadi berkah bagi pelaku industri telekomunikasi, terutama para pemilik operator seluler

        Baca Juga: Kinerja Emiten Consumer Goods Milik Crazy Rich Salim, Yay or Nay?

        Memang, sejumlah perusahaan telekomunikasi mengantongi keuntungan besar-besaran dengan kondisi tersebut. Namun, fakta menunjukkan bahwa itu tak berlaku untuk semua karena masih ada perusahaan telekomunikasi yang justru merugi pada semester I 2020. Siapakah mereka dan bagaimana jika dibandingkan dengan emiten telekomunikasi lainnya? Simak ulasan berikut ini.

        1. XL Axiata (517,75%)

        Kinerja keuangan PT XL Axiata Tbk (EXCL) terbilang positif sepanjang semester pertama tahun 2020 dan bahkan menjadi emiten dengan pertumbuhan kinerja terbaik di antara kompetitor lainnya, termasuk Telkom. Emiten telekomunikasi itu membukukan laba bersih sebesar Rp1,74 triliun. Angka tersebut tumbuh signifikan hingga 517,75% dari tahun lalu yang hanya Rp282,39 miliar. 

        Laba yang tumbuh subur itu terjadi seiring dengan meningkatnya pendapatan XL Axiata pada paruh pertama tahun ini. Dilansir dari laporan keuangan XL Axiata, pendapatan pada paruh pertama 2020 mencapai Rp13,08 triliun. Capaian tersebut 6,68% lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp12,26 triliun.

        Baca Juga: Tahan Banting Lawan Covid-19, Siapa Jawara Farmasi di Indonesia? Bukan Kimia Farma!

        Presiden Direktur dan CEO XL Axiata, Dian Siswarini, mengungkapkan bahwa kinerja perusahaan yang positif ditopang oleh meningkatnya kebutuhan konsumen terhadap akses internet. Terlebih lagi, selama masa pandemi Covid-19 aktvitas belajar hingga bekerja banyak beralih dari luring menjadi daring.

        "Trafik pemakaian data memang meningkat terutama pada bulan-bulan awal masa pandemi. Namun, kemudian trafik melandai karena daya beli masyarakat juga melemah seiring menurunnya kondisi ekonomi secara umum karena terdampak pandemi," pungkasnya secara tertulis pada 27 Agustus 2020 lalu.

        Memang, secara pendapatan XL Axiata mengalami pertumbuhan tipis. Namun, pada saat bersamaan perusahaan mampu menekan beban secara signifikan pada enam bulan pertama tahun ini. Alhasil, laba yang dihimpun angkanya melonjak drastis. Pada periode tersebut, XL Axiata berhasil menekan beban infrastruktur dari Rp4,67 triliun menjadi hanya Rp4,10 triliun.

        Sementara itu, beban interkoneksi juga ditekan dari Rp961,38 miliar pada Juni 2019 menjadi Rp816,64 miliar pada Juni 2020. Begitu pun dengan beban penjualan dan pemasaran yang angkanya turun dari Rp946,74 miliar menjadi Rp888,17 miliar. Penurunan juga terjadi di pos beban gaji dan kesejahteraan dari Rp623,73 miliar menjadi Rp610,86 miliar, sedangkan beban umum dan administrasi turun dari Rp305,01 miliar menjadi Rp171,62 miliar.

        Bersamaan dengan usaha perusahaan menekan beban, Dian mengatakan bahwa XL Axiata melakukan beberapa upaya untuk menyiasati pelemahan daya beli masyarakat di tengah kompetisi penyedia layanan operator yang kian ketat. Salah satu hal yang dilakukan adalah merilis paket data baru dengan harga murah sehingga dipilih oleh konsumen dan berdampak pada peningkatan trafik. Sebagai catatan, trafik data XL Axiata meningkat 45% dari 1.531 Petabyte pada semester I 2019 menjadi 2.221 Petabyte pada semester I 2020.

        "Menyikapi dinamika industri dan kompetisi yang terjadi, XL Axiata mengambil sikap hati-hati dan penuh perhitungan. Produk atau paket data baru dihadirkan dengan pertimbangan matang berdasarkan analisa data pola konsumsi layanan oleh para pelanggan yang sahih. Hasilnya cukup efektif dan sesuai dengan segmen pasar yang disasar," pungkasnya lagi.

        2. Telkom (-0,72%)

        Emiten telekomunikasi BUMN, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) mengantongi laba bersih sebesar Rp10,99 triliun pada semester pertama tahun 2020. Pencapaian tersebut menurun tipis sebesar 0,72% dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp11,07 triliun. 

        Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, bersamaan dengan penurunan laba, Telkom mengantongi pendapatan 3,6% lebih rendah dari Rp69,35 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp66,86 triliun pada Juni 2020. Kontributor pendapatan terbesar adalah segmen data, internet, dan jasa teknologi yang angkanya tumbuh 6,8% menjadi Rp35,3 triliun. 

        Berikutnya, Telkom mengantongi pendapatan IndiHome 19,1% lebih tinggi menjadi Rp10,4 triliun, sedangkan pendapatan interkoneksi tercatat meningkat 24,9% menjadi Rp4,1 triliun pada paruh pertama tahun ini. Pada saat yang bersamaan, pendapatan SMS, fixed, dan cellular voice menurun 27,5% menjadi Rp13 triliun. Begitu pun dengan pendpaatan jaringan telekomunikasi lain yang turun sedalam 36,4% menjadi Rp4 triliun.

        Direktur Keuangan Telkom, Heri Supriadi, menjelaskan bahwa pendapatan IndiHome yang tumbuh positif selaras dengan bertambahnya pengguna baru dan add-ons sepanjang semester pertama tahun ini. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa selama pandemi Covid-19 melanda, Telkom melakukan berbagai upaya untuk menjaga kinerja bisnis, salah satunya melalui akselerasi digital melalui segmen mobile atau juga fixed broadband

        "Selain itu, juga terjadi akselerasi transformasi dalam kegiatan bisnis, baik seperti digitasi dalam proses bisnis internal kami, seperti WFH yang didukung oleh jaringan yang kami miliki. Digital service juga mendukung kebutuhan layanan konsumen, yang sesuai dengan domain bisnis kami, yaitu digital connectivity, digital platform, dan digital service," ujarnya sebagaimana dikutip dari keterbukaan informasi.

        Perlu diketahui juga, kurang maksimalnya pendapatan dan laba juga disebabkan oleh pembengkakan di sejumlah pos beban. Misalnya saja, beban penyusutan dan amortisasi meningkat dari Rp11,47 triliun menjadi Rp13,93 triliun. Begitu juga dengan beban karyawan dan interkoneksi yang angkanya membengkak masing-masing menjadi Rp7,02 triliun dan Rp2,96 triliun pada akhir semester I 2020. 

        Bersamaan dengan itu, sejumlah beban lainnya mengalami perbaikan, seperti beban operasi, pemeliharaan, dan jasa yang turun dari Rp21,79 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp16,23 triliun pada Juni 2020. Beban umum dan administrasi juga membaik dari Rp3,2 triliun menjadi Rp3,1 triliun pada periode tersebut. Hal itu diikuti dengan turunya beban pemasaran dari Rp1,9 triliun menjadi hanya Rp1,4 triliun pada Juni lalu.

        3. Indosat (2,78%)

        Umpama peribahasa untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, pesta emiten telekomunikasi di era pandemi Covid-19 tidak mampu mendongkrak signifikan kinerja keuangan PT Indosat Ooredoo Tbk (ISAT). Pasalnya, sampai dengan Juni 2020, Indosat masih merugi Rp341,10 miliar. Angka tersebut membengkak 2,78% dari rugi Juni 2019 yang mencapai Rp331,89 miliar.

        Padahal, sepanjang enam bulan pertama tahun 2020, Indosat mampu mendongkrak pendapatan hingga 9,4% dari Rp12,29 triliun pada tahun lalu menjadi Rp13,45 triliun pada tahun ini. Hampir semua sumber pendapatan Indosat mengalami peningkatan, terutama pendapatan seluler yang naik 11,8% dari Rp9,96 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp11,14 triliun pada Juni 2020. 

        Selain itu, Indosat juga membukukan pendapatan multimedia, komunikasi data, internet (MIDI) 2,4% lebih tinggi pada periode kali ini, yakni naik dari Rp1,98 triliun menjadi Rp2,04 triliun. Namun, pendapatan telekomunikasi mengalami penurunan 19,8% dari Rp341,82 miliar menjadi hanya Rp247,28 miliar akibat penurunan trafik incoming.

        "Pendapatan seluler meningkat terutama disebabkan oleh peningkatan pendapatan data yang mengimbangi penurunan pendapatan telepon dan SMS, sedangkan pendapatan MIDI naik terutama disebabkan oleh peningkatan pendapatan dari keseluruhan layanan, yaitu konektivitas tetap dan jasa IT," jelas manajemen Indosat dalam keterbukaan informasi dikutip pada Jumat, 18 September 2020.

        Selain karena pertumbuhan pendapatan yang tipis, faktor yang membuat Indosat masih menanggung rugi ialah membengkaknya sejumlah pos beban pada semester pertama tahun 2020. Beban karyawan menjadi yang paling bengkak dengan kenaikan 43,1% menjadi Rp1,43 triliun, kemudian diikuti oleh beban penyusutan dan amortisasi sebesar 5,3% menjadi Rp4,96 triliun pada Juni 2020.

        Meski begitu, Indosat mampu menekan beban umum dan administrasi secara signifikan, yakni mencapai 36,6% menjadi Rp283,16 miliar. Hal itu diikuti pula oleh penurunan beban pemasaran sebesar 2,9% menjadi Rp541,68 miliar.

        "Indosat Ooredoo membukukan rugi bersih sebesar Rp341,10 miliar atau naik sebesar Rp9,2 miliar dibandingkan rugi bersih semester I 2019 yang utamanya disebabkan oleh dampak penyesuaian organisasi dan kenaikan biaya keuangan dari liabilitas sewa," jelas manajemen Indosat.

        Sebagai catatan, sampai dengan akhir Juni 2020, jumlah pelanggan seluler Indosat tercatat meningkat 0,9% secara tahunan menjadi 57,2 juta pelanggan. Dari sana, Indosat mengantongi pendapatan rata-rata per pengguna (ARPU) sebesar Rp31.400, naik dari tahun lalu yang hanya Rp27.900.

        4. Smartfren (14%)

        Senasib dengan Indosat, PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) juga harus gigit jari sepanjang semester pertama tahun 2020. Pasalnya, kerugian FREN membengkak hingga 14% dari Rp1,07 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp1,22 triliun pada Juni 2020. FREN sendiri sudah membukukan rugi sejak tahun 2008 silam.

        Dilansir dari laporan keuangan perusahaan, emiten telekomunikasi itu berhasil mendongkrak pendapatan hingga 42% lebih tinggi pada paruh pertama tahun ini. Jika pada Juni 2019 lalu pendapatan FREN hanya Rp3,03 triliun, angkanya naik menjadi Rp4,30 triliun pada Juni 2020. 

        Pendapatan dari jasa telekomunikasi menjadi yang paling mendominasi, yakni mencapai Rp3,91 triliun. Dua kontributor pendapatan berikutnya dalah segmen nondata sebesar Rp226,53 miliar dan pendapatan jasa interkoneksi meningkat drastis hingga tiga kali lipat menjadi Rp61,70 miliar pada akhir semester I 2020.

        Sayang seribu sayang, ketika pendapatan naik, beban yang ditanggung FREN juga ikut naik sehingga mengikis keuntungan perusahaan. Per Juni 2020, FREN menanggung beban usaha sebesar Rp5,17 triliun, naik dari tahun sebelumnya yang hanya Rp4,31 triliun. 

        Sebagaimana tersaji dalam laporan keuangan, FREN menanggung beban penyusutan amortisasi yang lebih tinggi pada awal tahun ini, yakni dari Rp1,81 triliun menjadi Rp2,23 triliun. Beban operasi, pemeliharaan, dan jasa telekomunikasi juga meningkat dari Rp1,69 triliun menjadi Rp1,88 triliun. 

        Begitu juga dengan beban penjualan dan pemasaran yang naik dari Rp392,58 miliar menjadi Rp532,37 miliar. Berikutnya, beban karyawan melonjak dari Rp340,11 miliar menjadi Rp439,86 miliar. Kemudian diikuti dengan kenaikan beban umum dan administrasi dari Rp78,72 miliar menjadi Rp96,52 miliar pada semester I 2020.

        5. Jasnita Telekomindo (-1.380%)

        Emiten telekomunikasi berikutnya yang tak mendulang cuan pada semester pertama tahun ini adalah PT Jasnita Telekomindo Tbk (JAST). Sampai dengan Juni 2020, JAST tercatat menelan rugi hingga Rp8,33 miliar. Capaian tersebut jauh menurun hingga 1.380% dibandingkan kinerja JAST pada Juni 2019 yang kala itu masih mengantongi keuntungan sebesar Rp602 juta. 

        Dilansir dari keterbukaan informasi, kerugian usaha itu salah satunya terpengaruh oleh amblasnya pendapatan JAS sedalam 28,81% dari Rp43,52 miliar pada Juni 2019 menjadi Rp30,98 miliar pada Juni 2020. Sebagian besar pendapatan bersumber dari jasa interkoneksi dan internet sebesar Rp25,28 miliar pada Juni 2020, naik tipis dari tahun sebelumnya yang hanya Rp25,06 miliar.

        Kemudian, sumber pendapatan lainnya juga kompak menurun, yaitu pendapatan proyek telekomunikasi dari Rp5,14 miliar menjadi Rp2,70 miliar, jasa periklanan turun dari Rp12,36 miliar menjadi R[2,29 miliar, dan jasa nonkoneksi turun dari Rp955,85 juta menjadi Rp285,96 juta.

        Bersamaan dengan itu, sejumlah pos beban mengalami pembengkakan sehingga turut menekan kinerja keuangan perusahaan. Per Juni 2020, JAST membukukan beban pemasaran sebesar Rp888,52 juta, naik dari tahun sebelumnya yang hanya Rp411,69 juta. Begitu juga dengan beban beban keuangan dan administrasi bank yang membengkak dari Rp714,49 juta menjadi Rp1,07 miliar.

        Ditambah lagi, JAST mengalami rugi selisih kurs dari yang sebelumnya Rp1,46 juta menjadi Rp76,02 juta. Untungnya, beban lainnya dapat ditekan secara maksimal dari Rp74,59 juta menjadi Rp7,5 ribu.

        6. Bakrie Telecom (-)

        Emiten telekomunikasi milik Grup Bakrie, yakni PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) tercatat belum melaporkan kinerja keuangan pada tahun 2020 ini. Emiten yang terancam delisting dari Bursa Efek Indonesia (BEI) ini baru merilis laporan keuangan tahun 2019.

        Sampai dengan semester I 2019, BTEL membukukan kerugian sebesar Rp91,75 miliar, menurun dari rugi semester I 2018 yang kala itu mencapai Rp540,11 miliar.

        Sementara itu, pendapatan BTEL juga ikut amblas sedalam 11,2% menjadi Rp3,91 miliar saja pada semester pertama tahun 2019. Kinerja keuangan BTEL kian terbebani dengan menanggung utang sebesar Rp16,16 triliun sampai dengan periode Juni 2019.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Lestari Ningsih
        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: