Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bukan Mbak Puan, Tapi Ganjar yang Gemilang, Hasto Senang atau Tidak Sih?

        Bukan Mbak Puan, Tapi Ganjar yang Gemilang, Hasto Senang atau Tidak Sih? Kredit Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pasca Jokowi "pensiun" di 2024, PDIP punya jagoan mentereng untuk dijadikan capres. Namun, bukan Puan Maharani, putri Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri yang digadang-gadang calon putri mahkota. Melainkan Ganjar Pranowo, kader banteng biasa yang saat ini menjadi Gubernur Jawa Tengah. 

        Saat ini, Ganjar memang sedang naik daun. Dalam banyak survei, elektabilitas Ganjar selalu melambung tinggi. Bahkan, dia sudah melewati Prabowo Subianto dan Anies Baswedan, yang sebelumnya dianggap sebagai kandidat terkuat di Pilpres nanti. Baca Juga: Ganjar Berpeluang Direkrut Nasdem Kalau PDIP-Gerindra Usung Prabowo-Puan

        Lalu, senangkah Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, dengan moncernya Ganjar? Berikut tanggapannya:

        Hasto bilang, partainya sama sekali belum memikirkan Pilpres 2024. Saat ini, fokus PDIP adalah bekerja konkret untuk rakyat. “Bukan untuk memelototi survei,” ucapnya, usai acara Peresmian Patung Bung Karno di Yogyakarta dan 13 Kantor DPD PDIP di berbagai daerah, secara virtual, Rabu (28/10). Baca Juga: Dear PDIP, Ketimbang Bergantung pada Puan Maharani, Ganjar Lebih Potensial Lho...

        Untuk penentuan capres, kata Hasto, PDIP punya aturan main sendiri. “Mekanisme yang dibangun di partai telah menempatkan Ibu Megawati Soekarnoputri, Ketum PDIP, dengan mandat yang diberikan oleh kongres, untuk menentukan pasangan calon tersebut,” ucapnya.

        Hasto kemudian bicara mengenai prinsip yang dipegang PDIP. Dia menyatakan, PDIP menganut proses demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai acuan utama. "Termasuk siapa yang akan menjadi Presiden pada tahun 2024," tuturnya.

        Dia menambahkan, pemimpin merupakan representasi rakyat. Prinsip ini dipegang Mega dalam melihat kepentingan bangsa dan negara, sebelum memutuskan calon yang diusung.

        Di acara yang sama, Mega juga sempat menyinggung hasil survei. Dia bilang, elektabilitas dalam survei tersebut cukup dijadikan sebagai pembanding, jangan dijadikan acuan. 

        "Saya selalu bilang, survei boleh dilihat, tapi jangan dipegang. Hari ini keluar survei, besok pagi pasti berubah,” ucapnya.

        Direktur Lembaga Survei Charta Politika, Yunarto Wijaya menyatakan, tingginya elektabilitas Ganjar akan menjadi dilema bagi PDIP. Tapi, kejadian ini bukan yang pertama. Pada 2014 sudah terjadi. Ketika itu, elektabilitas Mega kalah dibandingkan Jokowi. "Bukan dengan anaknya, atau keluarganya," ucap pria yang akrab disapa Toto ini, tadi malam. 

        Saat itu, Mega mengalah. Alasannya, mempertimbangkan elektabilitas dan masa depan partai. Toto memandang, Mega mendudukkan dirinya sebagai pemersatu partai. Selain itu, ada faktor elektoral yang harus dihitung sebagai pertimbangan utama menjadi capres.

        Apakah Mega akan melakukan hal yang sama? "Bukan sebuah dilema yang besar. Apakah mengulangi hal yang sama seperti 2014, tentunya masih terlalu panjang. Dulu pun penentuannya di saat-saat injury time. Sementara, sekarang masih ada 4 tahun lagi," ulas Toto. 

        Selama ini, banyak pihak yang menyebut bahwa Puan adalah anak emas PDIP. Putri bungsu Megawati itu dianggap akan didorong PDIP untuk Pilpres 2024. Namun, Toto menyebut, itu hanya asumsi. Layaknya isu bahwa Mega maju di Pilpres 2014. 

        Hanya saja, saran Toto, baik Mega maupun Hasto harus belajar dari pengalamannya merasakan dinamika politik di Tanah Air. Misalnya, berhitung secara elektoral untuk memenangi pesta demokrasi lima tahunan. Khusus untuk Mega, tidak lagi berbicara keluarga dan ambisi pribadi. Harus beradaptasi dengan arus besar pemilih saat ini.

        Selain itu, Toto juga menyebut ada tantangan yang harus dihadapi Ganjar. Seperti, mendapat kepercayaan Mega untuk meneruskan nilai-nilai yang dipercaya. Di antaranya, ideologi, nasionalis, Soekarnois, termasuk menjalin kerja sama yang baik dengannya. Ganjar harus bisa seperti Jokowi, yang bisa beradaptasi dan berkompromi dengan gaya kepemimpinan Jawanya.

        "Kalau Mas Ganjar, meski dia Jawa, kita tahu cenderung menonjol secara individu dibandingkan Jokowi. Yang terlalu menonjol, kadang baik di mata pemilih secara elektoral. Tapi, dia harus bisa berkompromi dengan pemegang saham. Jadi ini tantangannya," pungkas Toto. [MEN]

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: