Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kudeta Moeldoko Gagal, Bukti Bahwa Senioritas Sudah Tak Relevan Lagi untuk Demokrat

        Kudeta Moeldoko Gagal, Bukti Bahwa Senioritas Sudah Tak Relevan Lagi untuk Demokrat Kredit Foto: Antara/Wahyu Putro A
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Buntut kudeta gagal terhadap Partai Demokrat, kader-kader partai bintang mercy itu tidak boleh lagi mengandalkan senioritas dan romantika sejarah sebagai pendiri untuk berkiprah. Seiring dengan perubahan demografi calon pemilih yang makin muda, Partai Demokrat harus beradaptasi melalui kepemimpinan yang juga muda.

        Ini dikatakan oleh Firman Manan,  pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Bandung serta Ubedilah Badrun, pengamat politik dari UNJ, ketika dimintai komentar tentang situasi Partai Demokrat pasca percobaan pengambil alihan paksa awal Februari lalu.

        "Survei kependudukan 2020 yang dirilis BPS menunjukkan 54% penduduk Indonesia berasal dari generasi milenial dan generasi Z,” kata Firman yang saat ini mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Padjadjaran Bandung.

        "Partai politik, termasuk Demokrat, harus beradaptasi untuk bisa berkomunikasi dan meyakinkan mereka. Untuk ini lebih dibutuhkan kepemimpinan muda, yang mempunyai kedekatan sekaligus visi yang menginspirasi kaum muda, bukan senioritas" ujar alumnus Political Science Ohio University USA ini.

        Sebagaimana diketahui, generasi milenial didefinisikan sebagai mereka yang lahir antara tahun 1981-1996, sedangkan generasi Z adalah mereka yang lahir pada periode 1997-2012. 

        Firman menyoroti isu senioritas dan forum pendiri yang dijadikan dalih oleh sekelompok mantan kader dan kader PD untuk menggelar KLB guna mengganti Ketum yang sah saat ini yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (41) dengan Kepala KSP Moeldoko (64).

        "Senioritas bukanlah jawaban yang relevan untuk menyongsong pemilu 2024 dengan jumlah pemilih muda yang makin banyak,” tandas Firman. Ia melihat pengambilan keputusan politik berbasis data yang dilakukan Ketum AHY dan kepengurusan sekarang, lebih relevan menjawab tantangan zaman.

        Sementara, Ubedilah Badrun yang menjadi salah satu motor penting penggerak mahasiswa saat Reformasi 1998, juga menandaskan pentingnya kemampuan partai politik untuk memahami aspirasi masyarakat.

        "Sejarah menunjukkan ketika partai politik gagal faham, aspirasi masyarakat tersumbat dan akhirnya tumpah menjadi demokrasi jalanan. Ada jarak pikiran antara polisi partai yang terlalu senior dan generasi muda yang berfikiran baru dan maju” kata Ubedilah yang kini mengajar sosiologi politik di UNJ.

        Dalam konteks itu, ia mengingatkan regenerasi kepemimpinan partai politik menjadi kunci penting untuk bisa tetap relevan dengan perkembangan zaman. “Sayangnya, sebagian besar partai politik kita masih didominasi oleh gerontokrasi, yaitu kepemimpinan orang-orang yang secara signifikan jauh lebih tua dari populasi pemilihnya,” kata Ubedilah.

        "Sejauh ini secara umum dari kepengurusan 34 provinsi dan ratusan kabupaten, Partai Demokrat cukup berhasil melakukan regenerasi” ujar Ubedilah.

        Ia menambahkan dari data dalam riset menunjukan bahwa rata-rata usia pengurus Partai Demokrat hingga tingkat daerah mereka berusia 42 tahun, ada yang 20-an hingga 70-an.

        "Dari situ AHY sebagai Ketum nampaknya berhasil memimpin kepengurusannya yang sebagian besar anak muda melewati tantangan Pilkada dan juga upaya percobaan ambil alih paksa beberapa waktu lalu," terangnya.

        Meski demikian, ia mengingatkan kemungkinan besar tantangan dan ujian akan terus berdatangan mengingat Partai Demokrat memilih jalan demokrasi diluar kekuasaan.

        "Boleh jadi ada kader-kader yang sudah merasa mapan karena merasa diri senior atau merasa besar padahal sesungguhnya dibesarkan oleh partai, lalu merasa tidak sreg dengan penyegaran kepemimpinan ini. Ini membuka celah bagi pihak-pihak eksternal untuk mengeksploitasi demi kepentingan politiknya sendiri," tuturnya.

        Dia mengingatkan pola serupa pernah terjadi pada partai-partai lain. “Teguran Presiden Jokowi pada Moeldoko menegaskan bahwa memang terjadi upaya campur tangan eksternal pada urusan internal Partai Demokrat,” kata Ubedilah

        Ubedilah mengakui posisi Partai Demokrat yang berada di luar Pemerintahan, kerap mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah, tapi tren elektabilitas partai serta Ketumnya melalui sejumlah survei terus naik, membuat Partai Demokrat berpotensi untuk terus diincar sebagai sasaran untuk digoyang kepengurusannya.

        "Secara normatif, oposisi yang kuat dibutuhkan untuk demokrasi yang sehat. Tetapi realita politik kita bisa berbeda. Partai Demokrat harus mengantisipasi kemungkinan terulangnya upaya menggoyahkan partai, dengan berbagai cara" tandasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: