Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ironi! Ada 690 Juta Orang Kelaparan, tapi Sampah Makanan yang Dibuang Tembus 900 Juta Ton

        Ironi! Ada 690 Juta Orang Kelaparan, tapi Sampah Makanan yang Dibuang Tembus 900 Juta Ton Kredit Foto: Antara/Basri Marzuki
        Warta Ekonomi, London -

        Lebih dari 900 juta ton makanan dibuang setiap tahun. Menurut laporan global Indeks Limbah Makanan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebanyak 17% makanan yang tersedia bagi konsumen - di toko, rumah tangga, dan restoran - langsung dibuang ke tempat sampah.

        Sementara jutaan ton makanan dibuang, diperkirakan 690 juta orang terkena dampak kelaparan pada tahun 2019. Jumlah itu diperkirakan akan meningkat tajam setelah pandemi Covid-19 berakhir.

        Baca Juga: Efek Pandemi Sampah Rumah Tangga Naik 36%, Limbah Medis Sumbang Angka Tertinggi

        Sekitar 60% dari sampah itu ada di rumah. Penguncian akibat Covid-19 tampaknya berdampak mengejutkan, setidaknya di Inggris dengan mengurangi limbah makanan domestik.

        Organisasi mitra PBB dalam laporan ini mengatakan orang-orang telah merencanakan belanja dan makanan mereka dengan lebih hati-hati di masa penguncia ini.

        “Laporan itu menyoroti masalah global yang jauh lebih besar dari perkiraan sebelumnya," kata Richard Swannell dari Wrap kepada BBC News.

        "923 juta ton makanan yang terbuang setiap tahun akan mengisi 23 juta truk berbobot 40 ton. Bumper-to-bumper, cukup untuk mengelilingi Bumi tujuh kali,” terangnya.

        "Makanan yang terbuang bertanggung jawab atas 8-10% emisi gas rumah kaca, jadi jika limbah makanan adalah sebuah negara, negara itu akan menjadi penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di planet ini,” lanjutnya.

        Ini adalah masalah yang sebelumnya dianggap sebagai masalah yang hampir eksklusif untuk negara-negara kaya - dengan konsumen hanya membeli lebih banyak daripada yang bisa mereka makan. Namun penelitian ini menemukan "substansial" limbah makanan ternyata bisa terjadi "di mana-mana".

        Ada kesenjangan dalam temuan yang dapat mengungkapkan bagaimana skala masalah bervariasi di negara berpenghasilan rendah dan tinggi. Laporan tersebut, misalnya, tidak dapat membedakan antara limbah "tidak disengaja" dan "sukarela".

        "Kami belum melihat lebih dalam masalah ini tetapi di negara-negara berpenghasilan rendah, rantai dingin tidak sepenuhnya terjamin karena kurangnya akses ke energi," kata Martina Otto dari Unep.

        Data untuk membedakan antara sisa makanan yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan - seperti tulang dan cangkang - hanya tersedia untuk negara-negara berpenghasilan tinggi. Otto mengatakan negara-negara berpenghasilan rendah cenderung membuang-buang makanan yang jauh lebih sedikit.

        Namun dia menjelaskan hasil akhirnya adalah bahwa dunia "hanya membuang semua sumber daya yang digunakan untuk membuat makanan itu".

        Menjelang KTT iklim dan keanekaragaman hayati global akhir tahun ini, Direktur Eksekutif Unep Inger Andersen mendorong negara-negara untuk berkomitmen memerangi limbah - menguranginya hingga setengahnya pada tahun 2030.

        "Jika kita ingin serius menangani perubahan iklim, hilangnya alam dan keanekaragaman hayati, serta polusi dan limbah, bisnis, pemerintah, dan warga di seluruh dunia harus melakukan bagian mereka untuk mengurangi limbah makanan," katanya.

        Andersen menunjukkan jika menangani limbah akan mengurangi emisi gas rumah kaca, memperlambat kerusakan alam melalui konversi lahan dan polusi, meningkatkan ketersediaan makanan dan dengan demikian mengurangi kelaparan dan menghemat uang pada saat resesi global.

        Menurut penelitian Wrap Di Inggris, rata-rata rumah tangga dapat menghemat 700 poundsterling (Rp14 juta) per tahun, dengan hanya membeli makanan yang mereka makan.

        Penguncian Covid-19 tampaknya memiliki efek mengejutkan dengan mengungkapkan secara tepat bagaimana hal itu dapat diperbaiki.

        Berdasarkan penelitian Wrap, perencanaan, penyimpanan yang hati-hati, dan proses memasak selama penguncian mengurangi tingkat limbah makanan yang dilaporkan sebanyak 22% dibandingkan dengan 2019.

        "Terkurung di rumah kami telah menghasilkan peningkatan perilaku seperti memasak dan perencanaan makan," kata badan amal itu.

        "Tapi wawasan terbaru menunjukkan bahwa tingkat limbah makanan cenderung meningkat lagi saat kita keluar dari penguncian,” ujarnya.

        Untuk menghindari hal itu, juru masak dan koki terkenal telah meminjamkan nama dan profil media sosial mereka untuk kampanye melawan limbah dapur.

        Koki TV Inggris Nadiya Hussain bekerja dengan Wrap dan menawarkan tip dan resep sisa makanan melalui Instagram. Dan pemilik restoran Italia Massimo Bottura, chef pelindung dari restoran Modena Osteria Francescana, yang memiliki tiga bintang Michelin, telah ditunjuk sebagai duta besar niat baik Unep "dalam memerangi pemborosan dan limbah makanan".

        Selama penguncian di Italia, keluarganya membuat acara memasak online yang disebut Karantina Dapur, yang mendorong orang untuk "melihat potensi yang tidak terlihat" di setiap bahan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: