Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Heboh Prahara Demokrat, Ini Deretan Kudeta Partai Politik dari Zaman Orba Hingga Era Reformasi

        Heboh Prahara Demokrat, Ini Deretan Kudeta Partai Politik dari Zaman Orba Hingga Era Reformasi Kredit Foto: Antara/Endi Ahmad
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Partai politik (parpol) merupakan sebuah kelompok yang terdiri dari beragam kumpulan individu. Tak heran jika di dalam parpol, rentan terjadi perbedaan pendapat, padangan dan visi antar anggotanya hingga ada kudeta.

        Tak sedikit dari parpol yang akhirnya terpecah belah, hanya karena perbedaan pandangan belaka. Partai Demokrat menjadi salah satu contoh paling baru dari kasus ini. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang merupakan ketua umum Partai Demokrat, coba digulingkan dari tahta-nya.

        Baca Juga: Demokrat Panas, Tengku Zul Ikut-ikutan Tanya, Ada Jenderal Kudeta Mayor? Eh Istana Disenggol

        Munculnya kudeta ini, disinyalir terjadi karena ada anggota yang menunjukkan ketidakpuasan atas kinerja AHY. Beberapa kader juga merasa kehadiran AHY melanggengkan dinasti politik dalam tubuh Partai Demokrat.

        Moeldoko dan beberapa anggota fraksi Demokrat melaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB) di Deliserdang pada Jumat (5/3/2021). KLB ini berakhir dengan terpilihnya Moeldoko sebagai ketum baru Partai Demokrat dan membuat munculnya dualisme dalam tubuh partai Demokrat.

        Konflik internal dalam Partai Demokrat memang bisa dibilang yang paling baru, namun bukan yang pertama. Sejak era kepemimpinan Soekarno, Indonesia sudah mengalami pasang surutnya intrik dalam partai politik. Maka dari itu, Okezone merangkum beberapa kasus serupa yang pernah terjadi di Indonesia dilansir dari beragam sumber.

        1. Sarekat Islam (SI): SI Merah Vs SI Putih

        Sarekat Islam (SI) berawal dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang mulanya merupakan kumpulan para pedang pribumi. Dibentuk pada 1905, kelompok ini dibuat sebagai perlawanan pedagang pribumi terhadap kondisi pasar yang saat itu dikuasai pedangang Tionghoa.

        Seiring berkembang pesatnya SI, secara perlahan kelompoknya mulai disusupi dengan paham sosialisme revolusioner mulai tahun 1914. Paham ini dibawa oleh H.J.F.M Sneevliet lewat organisasinya yang bernama ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeninging).

        Memiliki tujuan serupa untuk membantu rakyat kecil dan melawan kapitalisme, beberapa tokoh muda seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo pun ikut menganut paham ini.

        SI melaksanakan kongres keenamnya pada 6-10 Oktober 1921 untuk membahas pelarangan rangkap keanggotaan dalam tubuh partai. Hal ini dilakukan setelah mendapat desakan dari Abdul Muis dan Agus Salim, yang ingin membersihkan SI dari unsur-unsur komunis.

        Sejak saat itu, SI pun terpecah menjadi dua pihak. SI Merah yang berpusat di Semarang dan SI Putih yang berpusat di Yogyakarta. SI Putih dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan SI Merah yang menganut paham Komunisme-Sosialisme dipimpin oleh Semaoen.

        2.Partai Demokrasi Indonesia (PDI): Soerdjadi vs Megawati

        Perpecahan dalam partai berlambang kepala banteng ini menjadi salah satu momen kelam dalam dunia politik Indonesia.

        Kejadian ini bermula ketika terdapat 16 fungsionaris DPP PDI yang melaksanakan kongres untuk memisahkan diri dari Megawati Soekarnoputri. Proses pelaksanaan kongres yang bertempat di Medan ini, dipimpin langsung oleh Fatimah Achmad.

        Megawati pun langsung melayangkan respon keras dengan memecat ke-16 fungsionaris itu. Pemecatan ini dilakukan karena mereka dianggap membelot dan melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDI.

        Meski mendapat tentangan keras dari pihak partai, nyatanya kongres ini tetap berjalan dan disinyalir mendapat dukungan dari Soeharto. Dugaan ini mendapat dasar kuat setelah kongres pada 20-22 Juni 1996 ini dibuka oleh sambutan Menteri Dalam Negeri saat itu, Yogie S Memed.

        Kongres itu berjalan lancar dan berujung pada penunjukan Wakil Ketua DPR/MPR Soerdjadi sebagai ketua umum baru PDI. Konflik ini akhirnya semakin memanas dan berujung maut.

        3.Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): Gus Dur vs Cak Imin

        Senada dengan Demokrat, PKB juga pernah mengalami kasus serupa menjelang Pemilu 2009.

        Perpecahan ini bermula ketika alm Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang menjabat sebagai Ketua Dewan Syuro PKB saat itu, mencopot Muhaimin Iskandar dari jabatannya sebagai ketum PKB.

        Keputusan ini diambil Gus Dur setelah mencium manuver-manuver Cak Imin yang terkesan ingin membelot darinya.

        Tak terima dicopot, Cak Imin menggugat balik Gus Dur ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Muktamar Luar Biasa (MLB) pun mulai ramai disuarakan untuk digelar oleh para anggotanya.

        Setelah beragam desakan, akhirnya MLB pun dilaksanakan. Namun, nyatanya MLB sama-sama dilaksanakan oleh kedua belah pihak.

        Anggota PKB yang mengikuti Gus Dur melaksanakan MLB di Ponpes Al-Asshriyyah, Bogor. Sedangkan yang mengikuti Cak Imin melaksanakannya di Hotel Mercure, Ancol.

        Keputusan akhir MLB yang digelar Gus Dur menetapkan dirinya sebagai Ketua Umum Dewan Syuro dan Ali Masykur Musa sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz. Sedangkan MLB Cak Imin menetapkan dirinya sebagai Ketua Umum PKB dan KH Aziz Mansyur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro.

        4.Golkar: Aburizal Bakrie vs Agung Laksono

        Golkar juga tak lepas dari dualisme dalam tubuh partainya. Tercatat di tahun 2014, partai pohon beringin ini sempat mengalami dualisme kepengurusan. Kejadian ini bermula ketika musyawarah nasional (munas) Golkar di Bali, dianggap tidak demokratis.

        Hal ini bermula ketika Airlangga Hartanto dan Hajriyanto mengundurkan diri dari bursa calon Ketum Partai Golkar. Membuat munas Bali berakhir dengan terpilihnya Aburizal Bakrie sebagai ketum Golkar yang baru.

        Tak terima dengan fakta ini, beberapa anggota Golkar menggelar munas tandingan di Ancol. Munas ini berakhir dengan Agung Laksono yang terpilih sebagai Ketum baru Partai Golkar.

        Pada Maret 2015, Pemerintah lewat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memutuskan hasil munas Ancol yang disetujui legalitasnya. Keputusan ini diduga muncul karena Agung Laksono memihak pada pemerintahan Jokowi sedangkan Ical bertindak sebagai oposisi.

        Setelah intrik dan perdebatan yang panjang, akhirnya dualisme ini berhasil diakhiri pada 2016. Kedua belah pihak setuju untuk menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) pada Mei 2016.

        Tak seperti pemilihan sebelumnya, kali ini Agung dan Ical justru tidak mencalonkan diri sebagai ketum Golkar yang baru. Munaslub ini menghasilkan putusan akhir, yang menunjuk Setya Novanto menjadi Ketum baru partai Golkar periode 2016-2019.

        5.Partai Persatuan Pembangunan (PPP): Djan Faridz vs Romahurmuziy (Romy)

        PPP mengalami kisruh dualisme setelah Suryadhrama Ali ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi penyelenggaraan haji pada tahun 2014.

        Romahurmuziy yang waktu itu menduduki jabatan sekretaris jenderal di PPP, memutuskan untuk memecat Ali dari jabatannya.

        Ditangkapnya Ali meninggalkan kekosongan pada posisi ketum partai. Maka dari itu, pengurus partai pun setuju untuk melaksanakan muktamar. Bukannya berkumpul menjadi satu wadah, PPP malah melaksanakan muktamar di Surabaya dan Jakarta.

        Muktamar di Surabaya diinisiasi oleh Romi dan berakhir dengan ditunjuknya Romi sebagai ketum PPP yang baru. Sedangkan Muktamar Jakarta, diinisiasi pendudkung Ali dan menunjuk Djan sebagai ketuanya.

        Ditunjuknya Romi sebagai ketua langsung mendapatkan surat keputusan resmi dari pemerintah. Meskipun begitu Djan tidak menyerah dan terus menggugat keputusan itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

        Selama hampir 3 tahun, kedua kubu itu terus beradu memperebutkan keabsahan diri mereka sebagai Ketua Umum PPP. Hingga akhirnya setelah menerima Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung (MA) di tahun 2017, Romi meyakinkan bahwa kini PPP sudah bersatu kembali.

        6.Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura): Oesman Sapta Odang (OSO) vs Marsekal Madya (Purn) Daryatmo

        Sama halnya dengan yang terjadi pada PKB, dualisme ini bermula dari aksi saling pecat yang dilakukan Sekjen DPP Hanura Syarifuddin Sudding dan Ketum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) di tahun 2018.

        Sudding memecat OSO karena menganggapnya melanggar peraturan partai. Di hari yang sama OSO balik memecat Sudding yang dianggapnya tidak kompeten dalam menjalankan tugasnya.

        Sudding bersama kubunya di Hanura menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslab) yang merupakan perintah dari Wiranto. Munaslab yang dilaksanakan di Cilangkap ini menghasilkan putusan penunjukan Daryatmo sebagai Ketum baru Hanura.

        OSO pun tidak terima dengan keputusan ini. Ia yang masih merasa sebagai ketua yang resmi, merasa keputusannya memecat Sudding sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang restrukturisasi, reposisi, dan revitalisasi pengurus DPP Partai Hanura masa bakti 2015-2020 nomor M.HH-01.AH.11.01 tahun 2018.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Alfi Dinilhaq

        Bagikan Artikel: