Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Harga Gas USD6 per MMBTU, PGN Amsyong Rp1,4 Triliun

        Harga Gas USD6 per MMBTU, PGN Amsyong Rp1,4 Triliun Kredit Foto: Antara/Ardiansyah
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Menurunnya konsumsi gas akibat pandemi covid-19 membuat kinerga PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) selama tahun 2020 memburuk. Kinerja PGN juga terpengaruh oleh kebijakan pemerintah menetapkan harga gas bumi USD6 per mmbtu kepada industri tertentu sejak April 2020. 

        Sementara industri tertentu tersebut selama ini menyerap sekitar 70 persen dari gas yang dialokasikan PGN. Kabarnya PGN harus menanggung kerugian hingga USD100 juta atau lebih dari Rp1,4 triliun akibat harga gas USD6 selama 2020.  

        Analis Finvesol Consulting, Fendi Susiyanto menilai apa yang dialami oleh PGN tersebut hal yang wajar. Karena mayoritas pengguna gas PGN adalah penerima manfaat harga gas USD6  itu. Sementara pemerintah tidak memberikan insentif ataupun subsidi sesuai yang diamanatkan dalam regulasi. Baca Juga: Tertekan Pandemi, Pendapatan PGN Menyusut 25%

        “Situasi sangat merugikan PGN, termasuk investornya di pasar modal," jelas Fendi Susiyanto di Jakarta, dalam keterangan tertulis, Selasa (13/4/2021).

        Baca Juga: PGN Siap Pasok Gas Kawasan Industri Kendal

        Fendi mengatakan dari kaca mata investor, salah satu hal penting yang menjadi dasar untuk mengambil keputusan investasi saham adalah melihat model bisnis (business model) dengan potensi margin yang menguntungkan. Hal itu menjadi faktor pendorong nilai perusahaan akan meningkat jangka panjang.

        Secara model bisnis, lanjut Fendi, PGN sebenarnya merupakan emiten dengan fundamental dan prospek bisnis yang menarik. Sebagai inisiator dan pengembang infrastruktur gas bumi, PGN saat ini menguasai lebih dari 80 persen jaringan gas bumi di seluruh Indonesia. Namun dari total produksi gas nasional sebanyak 6.889 BBTUD, PGN  mentransportasikan gas sebesar 1.930 BBTUD, sekitar 28 persen dan baru mengalirkan niaga gas sekitar 900 BBTUD atau sekitar 15 persen.

        Sayangnya, PGN mendapatkan perlakuan berbeda dibandingkan BUMN lainnya. Dengan komponen harga jual dipatok USD6, sementara komponen biaya realitasnya lebih tinggi. Tanpa memperoleh subsidi maka kerugian sulit untuk dihindari.

        Fendi kemudian mencontohkan perlakuan berbeda pemerintah terhadap PLN yang mendapatkan subsidi listrik. Bahkan sejak tahun 2015 beberapa BUMN kontruksi mendapatkan suntikan dana melalui Penyertaan Modal Pemerintah (PMN) untuk mengembangkan berbagai infrastruktur. Sementara kepada PGN, yang selama ini mengembangkan infrastruktur gas bumi sebagai energi untuk mengurangi energi impor, tak ada sepeserpun bantuan dari pemerintah. 

        Menurut Fendi, jika alasannya sebagian saham PGN dimiliki asing hal itu  tidak masuk akal.  Dikotomi asing dan non-asing ini tidak positif untuk mendorong pasar modal Indonesia semakin atraktif. Karena banyak BUMN yang mendapat PMN triliunan rupiah, sahamnya di pasar modal juga dikuasai oleh investor asing. 

        "Dengan membuat kebijakan harga gas USD6 dan tidak memberikan dukungan pendanaan, pemerintah sebenarnya tidak menginginkan gas bumi ini membesar. Karena sulit bagi PGN untuk terus membangun infrastruktur jika margin bisnisnya sudah dibatasi," tegas Fendi.   

        Sepanjang 2020 PGN mencatat kerugian bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai USD264,77 juta atau sekitar Rp3,84 triliun (1 USD = Rp14.500). Kerugian itu terutama disebabkan oleh keputusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) atas sengketa pajak 2012-2013 yang menetapkan PGN harus membayar beban pajak sebesar USD278,4 juta. Sebelumnya di pengadilan pajak dan banding, PGN memenangkan perkara ini. Beban besar lainnya adalah  penurunan (impairment) aset minyak dan gas senilai USD78,9 juta. 

        Direktur Keuangan PGN Arie Nobelta Kaban menjelaskan, pada 2020 PGN membukukan pendapatan senilai USD2,88 miliar, atau turun 25,02 persen dari realisasi pendapatan 2019 yang mencapai USD3,85 miliar. Di tengah berbagai tekanan bisnis, PGN berhasil menurunkan biaya operasional atau opex sebesar USD180,4 juta. Manajemen juga berhasil memangkas pengeluaran modal (capital expenditure), salah satunya pada pembangunan pipa minyak Rokan, sebesar USD150 juta atau setara dengan Rp2,1 triliun.

        "Posisi keuangan PGN cukup baik, dengan total aset sebesar USD7,53 miliar. Aset tersebut termasuk kas dan setara kas sebesar USD1,18 miliar," jelas Arie.

        Secara umum, Fendi menghitung, harga saham berkode PGAS ini secara fundamental dari price to value bagus sekali. Namun dari price to earning ratio justru negatif. Ini menunjukkan secara fundamental kuat, tapi ada dua  faktor utama yang menjadi value destroyer bagi saham PGAS  saat ini. Pertama,  margin bisnis yang terbatas karena harga jual dipatok USD6. Kedua adalah sengketa kasus putusan PPN gas bumi dengan DJP. 

        "Investor pasar modal menunggu kejelasan dari skema kompensasi bagi PGAS dari pemerintah. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menjadi game changer atas kinerja keuangan perseroan kedepan," pungkas Fendi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: