CIPS: Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2021 Ancam Kebebasan Berekspresi
Implementasi regulasi yang berkaitan dengan User Generated Content (UGC) atau konten buatan pengguna di Indonesia masih perlu diperjelas karena mengancam kebebasan berekspresi, penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) memperlihatkan.
Ancaman ini terlihat dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, yang mewajibkan PSE untuk menutup akses terhadap konten yang dinilai “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”.
Baca Juga: Temui Perusahaan AS, Menkominfo Bahas Kebutuhan Layanan Satelit
Ketidakjelasan definisi frasa “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum” ini membuka peluang penyalahgunaan oleh berbagai pihak yang dapat mengancam kebebasan berpendapat dari pengguna.
Definisi yang tidak jelas tersebut disertai jangka waktu yang sangat terbatas bagi PSE untuk melakukan screening terhadap konten yang diduga terlarang berisiko menyebabkan PSE terlalu berhati-hati hingga memblokir konten secara berlebihan karena ragu akan legalitas konten tersebut.
Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 juga menyatakan bahwa PSE dapat dibebaskan dari tanggung jawab hukum atas konten yang dilarang jika mereka mengelola sistem manajemen informasi elektronik dan platform pelaporan, serta memenuhi persyaratan moderasi konten yang memuaskan seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo.
Begitu ada laporan munculnya konten yang dilarang pada platform mereka, PSE harus menghapusnya dalam waktu 24 jam, atau 4 jam ketika dinilai mendesak, seperti pornografi anak, terorisme, atau konten yang dianggap menyebabkan keresahan di tengah masyarakat.
Dengan tidak jelasnya definisi konten yang ‘meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum’, maka kecil kemungkinan bagi PSE untuk dapat memeriksa laporan secara komprehensif. Apabila PSE terburu-buru dalam melakukan penghapusan konten, mereka juga berada dalam posisi yang rentan atas berbagai tuntutan hukum yang dapat diajukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.
“Untuk itu dibutuhkan definisi yang jelas mengenai apa yang disebut sebagai ‘konten negatif’ atau konten yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Definisi konten yang dilarang telah mengalami perubahan dari peraturan sebelumnya. Mengingat peraturan ini mengikat juga bagi PSE ukuran mikro dengan resource yang terbatas, perlu ada kepastian mana saja yang dimaksud konten yang termasuk dalam meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum agar tidak memberatkan PSE dalam melakukan pemeriksaan dalam waktu yang sedemikian singkat,” jelas Peneliti CIPS Thomas Dewaranu dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/5/2021).
Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 mendefinisikan PSE lingkup privat sebagai sistem elektronik yang dijalankan oleh orang, badan usaha, atau masyarakat. PSE ini diwajibkan untuk memastikan platform mereka tidak mengandung atau memfasilitasi transmisi konten yang dilarang.
Pendefinisian konten yang dilarang disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang merupakan dasar hukum Permenkominfo tersebut, yaitu konten yang melanggar perundangan dan peraturan di Indonesia atau apapun yang meresahkan atau mengganggu ketertiban masyarakat.
Namun, lanjut Thomas, definisi konten yang dilarang telah mengalami beberapa kali perubahan dari peraturan-peraturan sebelumnya seperti Permenkominfo Nomor 19 tahun 2014 terkait Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif dan Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2016 tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Electronic Commerce) yang Berbentuk UGC.
Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 kemudian mencabut Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014. Akibatnya, istilah “konten negatif” tidak lagi digunakan, dan meskipun sudah ada upaya untuk memperjelas definisi konten yang dilarang, tetap masih terdapat ambiguitas.
CIPS merekomendasikan pemerintah untuk menggunakan pendekatan ko-regulasi atau pengaturan bersama UGC dengan pihak swasta. Dialog antara pemerintah dan swasta serta pembagian tanggung jawab akan membantu proses hukum menjadi lebih relevan dan terus berkembang seiring cepatnya perkembangan lanskap digital yang sangat dinamis.
Pengaturan bersama, yaitu pendekatan regulasi yang berfokus pada dialog antara pemerintah dan swasta serta pembagian tanggung jawab antara pemerintah dan non-pemerintah secara luas, harus dipertimbangkan dalam formulasi regulasi karena cara ini dapat meningkatkan efektivitas pencegahan konten yang dilarang tanpa harus memberatkan PSE dan mengancam kebebasan berpendapat pengguna.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq