Menkes Ungkap Kemampuan Produksi Obat Covid-19 Tak Mampu Imbangi Permintaan di Awal Lonjakan Kasus
Pada masa awal terjadinya peningkatan drastis kasus Covid-19, ketersediaan obat menjadi hal yang selalu dipertanyakan oleh masyarakat. Ketersediaan obat seringkali dikatakan tak memenuhi kebutuhan, baik itu karena stok yang terbatas bahkan hingga stok kosong.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengklarifikasi alasan dibalik minimnya ketersediaan obat yang sempat meresahkan masyarakat pada awal lonjakan kasus terjadi. Menurutnya, peningkatan kasus yang terus melonjak itu tidak sesuai dengan prediksi para produsen obat terkait dengan jumlah yang dibutuhkan.
Baca Juga: Kemenkes Susun Pedoman Baru Tata Laksana untuk Obat Covid-19, 2 Jenis Obat ini Dihapus dari Daftar
"Mereka menghitung kira-kira naik 4 kali, begitu bahan baku datang dan diproses, naiknya sudah 8 kali. Kemudian baru mau diproses lagi, sudah naik lagi sampai 12 kali," kata Budi dalam konferensi pers virtual di kanal Youtube Kemenkes RI, Senin (2/8/2021).
Padahal, lanjut Budi, proses produksi hingga distribusi umumnya membutuhkan waktu 4-6 minggu. "Jadi, akibatnya kebutuhan untuk suatu produk tertentu, kecepatan produksi itu tidak ngejar. Itu yang mengakibatkan kemarin pada saat wave ini masuk dengan cepat, kita nggak siap langsung dengan obat-obatannya," tuturnya.
Di sisi lain, upaya menambah ketersediaan obat melalui jalur impor juga cukup membutuhkan waktu. Oleh sebab itu, negara juga memerlukan waktu yang panjang untuk akhirnya bisa memenuhi kebutuhan obat bagi masyarakat.
Akan tetapi, Budi mengatakan saat ini sudah banyak stok obat impor yang masuk ke Indonesia. Berdasarkan data yang dimiliki Kemenkes, ketersediaan obat Remdesivir hingga akhir Agustus nanti sebesar 1.677.997, sementara obat Tocilizumab sebanyak 116.106.
Budi juga menyampaikan Kemenkes dan sejumlah rumah sakit sedang melakukan uji klinis terhadap beberapa obat terapi Covid-19. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi tekanan kebutuhan obat-obatan impor yang cukup menguras biaya.
"Mudah-mudahan bisa mengurangi tekanan kebutuhan obat-obatan impor tadi yang mahal sehigga variasi dari tata laksana uji klinis perawatan Covid-19 di rumah sakit semakin kaya dan dekat dekat perbedaan kualitas treatment-nya dengan rumah sakit di negara maju," terangnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: