Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Antibiotik Disebut Perlu Sistem Pengaman Setingkat Narkotika, Mengapa Demikian? Ternyata...

        Antibiotik Disebut Perlu Sistem Pengaman Setingkat Narkotika, Mengapa Demikian? Ternyata... Kredit Foto: Unsplash/Christina Victoria Craft
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Tingginya angka resistensi antimikroba atau AMR membuat Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI, Dr Harry Paraton, Sp. OG (K), akui seharusnya antibiotik memiliki pengamanan peredaran setara narkotika.

        Seperti diketahui, AMR sangat berbahaya karena berisiko menyebabkan kematian. AMR umumnya disebabkan penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter.

        Baca Juga: Bukan Hanya Sekadar Pendamping, Lalapan Ini Punya Manfaat Kesehatan Dahsyat untuk Penderita Diabetes

        "Makanya ada yang menyetarakan harusnya sistem pengamananya setingkat obat narkotika, keras dan dilarang," tutur Dr Hari dalam acara diskusi INDOHUN dan Pfizer Indonesia, Jumat (5/11/2021).

        Antibiotik sendiri masuk dalam kategori merah atau obat keras yang penggunaanya harus berdasarkan resep dan pengawasan dokter.

        Obat keras adalah obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan teknis, mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak.

        Apabila tidak diawasi dokter, penyakit yang seharusnya tidak memerlukan antibiotik malah digunakan, dan saat kondisi pasien benar-benar butuh antibiotik, l tubuh sudah resisten atau kebal alias membuat antibiotik tidak memiliki efek apapun.

        Baca Juga: Apa Benar Bunga Telang Bermanfaat untuk Penderita Diabetes?

        Seperti diketahui umumnya antibiotik adalah obat untuk infeksi bakteri, bukan untuk infeksi virus seperti influenza, demam berdarah, Covid-19 dan sebagainya.

        Ini juga yang menjadikan AMR salah satu dari 10 ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia.

        Mirisnya, data organisasi kesehatan dunia atau WHO, menunjukan penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negara berkembang pada periode 2000 hingga 2015.

        Apalagi, penelitian dari European Observatory on Health Systems and Policies mengungkap bahwa rerata biaya perawatan yang dikeluarkan oleh pasien yang non-resistan (tidak kebal) terhadap bakteri Escherichia coli sebesar 10.400 dollar AS atau sekitar Rp149 juta.

        Baca Juga: Ya Ampun... Ngeri Banget! Kolesterol Bisa 'Ngamuk' Jika Anda Sarapan dengan Mengonsumsi Makanan Ini

        Sedangkan bagi pasien yang resisten nilainya bertambah sebanyak 6.000 dollar AS atau sekitar 86 juta rupiah, yang meliputi biaya perawatan, diagnosa, obat-obatan, dan layanan pendukung lainnya.

        "Peraturan mengenai penjualan obat antibiotik diatur dalam UU Obat Keras tahun 1949 di mana disebutkan bahwa yang berwenang untuk meresepkan obat antibiotik hanyalah Dokter, Dokter Gigi, dan Dokter Hewan," pungkas Dr Harry.

        Baca Juga: Ini Alasan Mengapa Penderita Diabetes Lebih Baik Tidak Mengemudikan Kendaraan, Ternyata…

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Bayu Muhardianto

        Bagikan Artikel: