Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Menyelisik Seberapa Besar Kemungkinan Rusia Lakukan Invasi, Siapkah Ukraina?

        Menyelisik Seberapa Besar Kemungkinan Rusia Lakukan Invasi, Siapkah Ukraina? Kredit Foto: Sputnik/Alexander Vilf
        Warta Ekonomi, London -

        Apakah pasukan Rusia bersiap melancarkan perang di Ukraina? Apa risiko invasi ini, bila terjadi? Ada sejarah apa di balik kedua negara?

        Rusia ingin Barat berjanji agar Ukraina tak bergabung dengan aliansi pertahanan mereka, NATO. Meski kedua belah pihak terus bernegosiasi, situasi di wilayah itu semakin tegang.

        Baca Juga: Rusia Bilang Ukraina Jadi Mainan Amerika dan NATO, Ini Buktinya

        Moskow telah mengirim sekitar 100.000 tentara ke dekat perbatasan kedua negara. Sementara, ketakutan akan terjadi invasi, membuat sejumlah negara menarik perwakilannya dari ibu kota Ukraina, Kiev.

        Mengapa Rusia mengancam Ukraina?

        Rusia menampik tuduhan mereka merencanakan invasi terhadap Ukraina, namun dalam sejarahnya, negara ini sudah pernah menguasai teritori Ukraina dan kini memiliki sekitar 100.000 tentara di perbatasan.

        Rusia juga telah lama keberatan dengan Ukraina yang terus mendekat kepada institusi-institusi Eropa, terutama NATO.

        Ukraina berbagi perbatasan negara dengan Uni Eropa dan Rusia, namun sebagai salah satu bekas Republik Uni Soviet (USSR), ia memiliki ikatan sosial dan kultur yang erat dengan Rusia. Bahasa Rusia juga dipakai secara luas di sana.

        Saat Ukraina menumbangkan presiden mereka yang pro-Rusia pada awal 2014, Rusia menganeksasi bagian selatan negara itu, Semenanjung Krimea, dan memberi sokongan pada kelompok separatis yang merebut sebagian besar wilayah timur Ukraina.

        Sejak itu, para pemberontak ini kemudian memerangi militer Ukraina dalam konflik yang telah merenggut 14.000 nyawa.

        Seberapa besar kemungkinan invasi?

        Rusia bersikukuh mengatakan tak berencana menyerang Ukraina; dan Kepala Angkatan Bersenjata Rusia Valery Gerasimov mengecam pemberitaan tentang rencana invasi itu.

        Tapi ketegangan terus meningkat, dan Presiden Vladimir Putin mengancam "tindakan pembalasan militer-teknikal yang pantas" bila apa yang disebutnya sebagai pendekatan agresif dari Barat ini terus berlangsung.

        Sekretaris jenderal NATO memperingatkan risiko konflik sangat nyata dan Presiden Biden berkata, ia menebak Rusia akan melanjutkan penyerangan.

        Amerika Serikat mengaku mengetahui bahwa pasukan Rusia akan masuk ke area Ukraina "dengan pemberitahuan mendadak".

        AS juga berkata Rusia tidak memberi penjelasan apa-apa tentang penempatan pasukan di dekat perbatasan - dan fakta bahwa pasukan Rusia telah mengarah ke Belarus untuk latihan.

        Pada Rabu (26/01), Biden berkata akan ada "konsekuensi besar" jika Rusia bergerak menyerang Ukraina. Dalam sesi wawancara dengan wartawan, Biden menjawab "ya" saat ditanya apakah AS akan menjatuhkan sanksi internasional kepada Presiden Putin bila invasi terjadi.

        Kremlin dilaporkan marah akan pernyataan Biden ini. Dmitry Peskov, juru bicara Putin, berkata sanksi tidak akan "menyakiti" Putin, tapi aksi ini akan "merusak secara politik".

        Sebelumnya, wakil menteri luar negeri Rusia membandingkan situasi sekarang dengan krisis misil di Kuba pada 1962, saat AS dan Uni Soviet nyaris terlibat dalam konflik nuklir.

        Apa yang diinginkan Rusia dari NATO?

        Rusia telah bicara "tanpa tedeng aling-aling" soal hubungannya dengan NATO: "Bagi kami, sangat wajib untuk memastikan Ukraina tidak pernah, selamanya, menjadi anggota NATO," kata Wakil Menteri Luar Negeri Sergei Ryabkov.

        Moskow menuduh negara-negara NATO "memompa" Ukraina dengan persenjataan dan bahwa AS memanas-manasi suasana. Presiden Putin sempat mengeluh bahwa Rusia "tidak bisa pergi ke mana pin - apakah mereka pikir kita akan diam saja?"

        Kenyataannya, Rusia ingin NATO kembali ke perbatasannya di era sebelum 1997.

        Rusia ingin ekspansi ke timur dan mengakhiri aktivitas militer NATO di Eropa Timur. In berarti, unit-unit pertahanan ditarik dari Polandia dan republik-republik Baltik di Estonia, Latvia, dan Lithuania.

        Juga, tidak ada misil yang boleh ditembakkan dari negara-negara seperti Polandia dan Rumania.

        Rusia juga telah mengusulkan pakta perjanjian dengan AS yang melarang senjata nuklir ditembakkan di luar wilayah nasionalnya.

        Apa yang diinginkan Rusia dari Ukraina?

        Pada 2014, Rusia menduduki Krimea dan mengaku memiliki klaim sejarah atasnya. Ukraina adalah bagian dari Uni Soviet, yang runtuh pada Desember 1991, dan Presiden Putin pernah berkata bahwa peristiwa itu adalah "disintegrasi sejarah Rusia".

        Tanda-tanda bahwa Putin sudah sejak lama memikirkan Ukraina adalah ketika tahun lalu ia menyebut rakyat Rusia dan rakyat Ukraina "satu bangsa".

        Dia melabeli para pemimpin Ukraina sekarang sebagai "proyek anti-Rusia".

        Rusia juga merasa frustasi dengan perjanjian perdamaian Minsk 2015 untuk Ukraina timur yang sampai kini jauh dari dipenuhi.

        Masih belum ada rencana untuk diadakannya pemilu independen yang dimonitor di wilayah-wilayah separatis. Meski, Rusia menolah tuduhan bahwa ini adalah bagian dari konflik sekarang.

        Apakah aksi Rusia bisa dihentikan?

        Presiden Vladimir Putin telah beberapa kali melakukan perbincangan dengan Presiden Joe Biden, dan hingga kini, diskusi tingkat tinggi terus berlanjut.

        Namun para pejabat Rusia memperingatkan bahwa penolakan Barat atas permintaan-permintaan kunci mereka telah mengakibatkan perbincangan ini "buntu".

        Pertanyaannya sekarang, seberapa jauh Rusia akan beraksi. Presiden Biden memperingatkan, invasi skala besar akan mengakibatkan bencana bagi Rusia.

        Tapi jika serangan ini hanya kecil semata, dia berkata, negara-negara Barat akan "saling ribut soal apa yang harus dilakukan".

        Sejak Rusia mencaplok Krimea, NATO menempatkan unit-unit tempur di Eropa timur.

        Gedung Putih menekankan, gerakan apapun yang melewati perbatasan akan dihitung sebagai invasi - namun juga memperingatkan bahwa Rusia memiliki persenjataan lain, termasuk serangan siber dan taktik paramiliter.

        Pentagon menuduh Rusia menyiapkan apa yang disebut operasi bendera-palsu, di mana anggotanya akan menyabotase pemberontak yang dibeking Rusia, sehingga ada alasan untuk invasi. Rusia menyangkal tuduhan ini.

        Rusia juga telah membagikan 500.000 paspor kepada orang-orang yang tinggal di wilayah yang dikuasai para pemberontak, sehingga jika mereka tidak mendapatkan kemauannya, Rusia dapat membenarkan aksi mereka dengan alasan melindungi warga negaranya.

        Tapi jika tujuan utama Rusia adalah untuk mengusir NATO dari wilayahnya, Rusia sepertinya akan gagal.

        Sebanyak 30 negara anggota NATO menolak permintaan Rusia. "Kami tidak akan membiarkan siapapun menutup pintu pada kebijakan pintu terbuka NATO," kata Wakil Menteri Dalam Negeri AS Wendy Sherman.

        Ukraina menginginkan garis waktu yang jelas untuk bergabung dengan NATO, dan lembaga ini berkata Rusia "tidak punya veto, tidak berhak menggangu proses ini".

        Apakah Barat akan membantu Ukraina?

        AS telah dengan jelas menyatakan tidak akan mengirim pasukan untuk berperang membantu Ukraina, namun di sisi lain, mengaku berkomitmen membantu Ukraina mempertahankan "wilayah kedaulatannya".

        Alat utama untuk melakukannya adalah ancaman sanksi internasional dan bantuan militer berupa penasihat dan persenjataan.

        Ancaman Biden tentang sanksi "yang sangat memberatkan" Rusia itu, bisa berarti beberapa hal.

        Pukulan ekonomi yang utama adalah pemutusan koneksi sistem perbankan Rusia dari sistem pembayaran internasional Swift. Ini biasanya menjadi senjata pamungkas, tapi Latvia berkata tindakan ini akan mengirim pesan kuat untuk Moskow.

        Ancaman keras lainnya adalah upaya untuk menghalangi pembukaan pipa gas Nord Stream 2 milik Rusia di Jerman, dan persetujuan untuk proyek ini saat ini sedang diputuskan oleh regulator energi Jerman.

        Ada pula tindakan yang terkait dengan dana kekayaan negara Rusia, RDIF, atau pembatasan penukaran mata uang rouble ke mata uang negara lain di bank-bank.

        Tapi negara-negara Barat masih terbelah. Washington mengatakan berkomitmen untuk "menetapkan langkah" dengan sekutu-sekutunya, tapi ada perpecahan antara AS dan Eropa.

        Para pemimpin Eropa berkeras Rusia tidak bisa begitu saja menentukan masa depan dunia bersama AS. Prancis mengusulkan supaya negara-negara Eropa bekerja bersama dengan NATO dan melakukan dialog sendiri dengan Rusia.

        Presiden Ukraina menginginkan diadakan pertemuan internasional untuk memecahkan konflik ini, yang melibatkan Prancis, Jerman dan Rusia.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: