PBB Yakin China dan Rusia Pasok Senjata ke Myanmar, Dipakai untuk Bantai Rakyat Sipil
China dan Rusia diduga memasok senjata yang digunakan militer Myanmar terhadap warga sipil sejak merebut kekuasaan tahun lalu. Tindakan mereka sontak dikritik pedas oleh seorang ahli HAM independen yang bekerja sama dengan PBB.
Dilansir dari Associated Press, Tom Andrews, seorang pelapor khusus yang bekerja sama dengan kantor HAM PBB, mendesak kedua negara tersebut menghentikan penjualan semacam itu.
Baca Juga: Awas, Kanada Jatuhkan Sanksi Putaran Pertama Terhadap Rusia
Ia juga meminta Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengadakan rapat darurat untuk membahas kemungkinan larangan penjualan senjata yang digunakan oleh militer Myanmar terhadap warga sipil. China dan Rusia pun merupakan anggota tetap DK PBB.
"Rakyat Myanmar meminta PBB untuk bertindak. Mereka layak mendapatkan suara untuk resolusi DK yang akan menghentikan penjualan senjata yang digunakan untuk membunuh mereka," bujuk Andrews pada Selasa (22/2/2022).
Temuan ini muncul dalam laporan baru dari Andrews tentang jenis dan jumlah senjata yang digunakan militer Myanmar pada awal 2018. Saat itu, militer melancarkan tindakan keras berdarah terhadap minoritas Muslim Rohingya, sehingga ratusan ribu orang melarikan diri ke tetangganya, Bangladesh.
Penelitian Andrews mendeskripsikan sejumlah kategori pengiriman senjata. Yang ia identifikasi 'paling bermasalah' pun berasal dari China, Rusia, dan Serbia karena telah dikirim sejak 2018 dan berlanjut setelah pengambilalihan militer tahun lalu.
Andrews juga menyebut India karena telah mentransfer senjata sebelum kudeta dan satu kali setelah kudeta. Selain itu, 3 negara lainnya, Belarusia, Pakistan, dan Ukraina, telah mengirim senjata sebelum pengambilalihan militer, tetapi tidak setelahnya.
Sementara itu, Israel dan Korea Selatan telah mengirim kapal angkatan laut ke Myanmar sejak 2018 yang dapat digunakan untuk melawan warga sipil. Namun, sejak itu, kedua negara tersebut berkomitmen tak lagi mengirim senjata.
Menurut Andrews, resolusi yang disahkan Majelis Umum PBB pada Juni telah gagal berdampak pada kemampuan militer Myanmar untuk menyerang warga sipil yang menentang pemerintah.
Pelapor khusus ini bekerja untuk kantor HAM PBB di Jenewa berdasarkan mandat yang diberikan Dewan HAM yang didukung PBB. Dewan HAM beranggotakan 47 orang dan saat ini menganggap China dan Rusia sebagai anggotanya.
Aksi protes tanpa kekerasan meluas di Myanmar, menyusul pengambilalihan militer pada Februari tahun lalu yang menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. Perlawanan bersenjata pun tumbuh setelah demonstrasi damai dipadamkan.
Lebih dari 1.500 warga sipil telah dibunuh oleh pasukan keamanan, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto