Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Politikus PKS Sebut Pemerintah Inkonsisten Tetapkan Rumus Harga Jual Migas

        Politikus PKS Sebut Pemerintah Inkonsisten Tetapkan Rumus Harga Jual Migas Kredit Foto: Instagram/Mulyanto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai Pemerintah inkonsisten tetapkan rumus harga jual migas nasional. Saat harga minyak dunia anjlok ke titik terendah, Pemerintah tidak menurunkan harga jual. Sementara, saat sekarang harga jual melonjak dampak perang Rusia-Ukraina, Pemerintah buru-buru menaikkan harga jual migas kepada masyarakat.

        Mulyanto menyebut kebijakan Pemerintah ini inkonsisten, latah, dan sekadar jalan pintas melimpahkan beban kepada masyarakat. Padahal, pandemi Covid-19 belum usai, Omicron masih tinggi dan kemampuan ekonomi masyarakat masih tertatih-tatih.

        Baca Juga: Perang Rusia-Ukraina Picu Harga Migas Naik, PKS Desak Pemerintah Siapkan Solusi

        "Kasihan masyarakat harus menanggung beban kenaikan harga LPG non-subsidi berturut-turut dalam tiga bulan terakhir, kemudian harga BBM non-subsidi 2 Maret 2022. Pemerintah bukannya membantu meringankan beban masyarakat malah menambah berat. Harusnya negara hadir dalam situasi seperti sekarang. Jangan buang badan," tegas Mulyanto, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (4/3/2022).

        Karena itu, Mulyanto mendesak Pemerintah meninjau ulang kebijakan yang memberatkan masyarakat tersebut. Beban ini harus ditanggung oleh Pemerintah dan BUMN. Jangan hanya dipikul oleh masyarakat, Negara harus hadir dalam masalah ini.

        Menurut Mulyanto, harga-harga energi domestik ini tidak mesti naik karena kenaikan defisit transaksi berjalan sektor migas sebenarnya dapat dikompensasi dari penerimaan ekspor komoditas energi lain. Pemerintah bisa memaksimalkan pendapatan dari ekspor batu bara, gas alam, dan CPO yang harganya melejit.

        Sebagai contoh, penerimaan negara dari ekspor batu bara dan CPO pada tahun 2021 sebesar US$56 miliar. Sementara, defisit transaksi berjalan sektor migas karena impor BBM dan LPG, pada tahun 2021 hanya sebesar US$13 miliar. Karenanya, kenaikan penerimaan ekspor batu bara dan CPO mestinya dapat mengompensasi kenaikan defisit transaksi dari impor migas.

        Jadi, menurut Mulyanto, melonjaknya harga energi dunia tidak otomatis harus diikuti dengan kebijakan kenaikan harga BBM dan LPG domestik. Mulyanto juga meminta Pemerintah untuk mengembangkan berbagai opsi kebijakan yang inovatif, yang tidak memicu inflasi dan membebani rakyat di saat pandemi Covid-19 yang belum usai ini.

        Misalnya dalam jangka pendek, Pemerintah agar meningkatkan skema penerimaan negara dari ekspor batu bara dan CPO untuk mengompensasi kenaikan harga BBM dan LPG. Dua hari terakhir harga batu bara melambung 160 persen menembus angka US$400/ton. Begitu juga harga CPO yang meroket.

        Kemudian, kebijkan substitusi LPG dapat dilakukan dengan menggunakan kompor listrik atau gas alam, apalagi kalau gas alam ini dijual dalam bentuk tabung.

        Sementara itu, seiring dengan iklim investasi yang membaik, Pemerintah dapat menggenjot eksplorasi dan produksi migas di lapangan eksisting. Karena dengan harga yang tinggi, investasi migas menjadi makin kondusif.  Termasuk juga gerakan penghematan penggunaan energi nasional.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: