Sebulan Invasi Rusia atas Ukraina Berlangsung, Putin Sudah Dapat Apa?
Invasi Rusia di Ukraina, yang disebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai "operasi militer khusus", genap berlangsung 30 hari atau satu bulan tepat tanggal 26 Maret kemarin. Namun Ukraina tak kunjung menyerah dan tak ada kota besar yang diduduki sepenuhnya oleh Rusia, termasuk Mariupol yang menjadi medan perang paling sengit.
Sejak awal Rusia ingin cepat-cepat menundukkan Ukraina dengan blitzkrieg atau serangan militer kilat yang bertumpu pada manuver tank dan dukungan udara, selain bombardemen rudal dan artileri.
Baca Juga: Terus Digempur Rusia, Presiden Ukraina Menuntut Bantuan dari Negara Barat
Tujuannya, memenangkan perang sesegera mungkin guna menghindari korban lebih banyak dan kerugian perang dalam jumlah besar.
Dengan menyerang jantung Ukraina di Kiev dari wilayah Belarus yang hanya 150 km dari Kiev atau separuh jarak Rusia ke ibu kota Ukraina itu, Putin memang memburu kemenangan kilat. Di sini, tempo serangan menjadi bagian paling penting.
Putin pernah menyatakan Rusia tak berencana menduduki Ukraina dan tak berniat mengganti rezim. Namun dengan membidik Kiev, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy jelas menjadi sasaran penggulingan.
Indikasi ini terlihat dari langkah Moskow mengganti pemimpin sejumlah daerah yang diduduki, termasuk wali kota terpilih secara demokratis Ivan Fedorov di Melitopol yang ditangkap untuk digantikan oleh Galina Danilchenko yang pro-Rusia.
Namun rencana perang yang gegabah membuat blitzkrieg Rusia berantakan. Ternyata, berbeda dari laporan intelijen Rusia, Ukraina melawan dengan gigih sampai membuat militer Rusia menelan kerugian besar.
Rusia tadinya mengira perlawanan Ukraina akan sama dengan saat Rusia menganeksasi Semenanjung Krimea pada 2014 dan tentara Ukraina nyaris tak melawan.
Ternyata, militer Ukraina pada delapan tahun lalu berbeda dengan yang sekarang. Ukraina berkali-kali memukul mundur pasukan Rusia, tak hanya di dua kota terpenting--Kiev dan Kharkiv--tapi juga kota-kota lain, termasuk Chernihiv dan Summy di dekat perbatasan Rusia.
Bahkan, mengutip Institute for Study of War yang rutin memperbarui informasi terkini Ukraina berdasarkan analisis pertahanan dan laporan intelijen, sejak 22 Maret Rusia tak pernah lagi melancarkan ofensif besar.
Sebaliknya, Rusia cenderung mengambil posisi defensif. Dengan kata lain, pendulum perang telah berbalik kepada Ukraina. Rusia juga sudah berani merilis jumlah korban dari pihak mereka.
Setelah hanya mengakui 500-an tentaranya tewas, Jenderal Sergey Rusdkoy dari kantor kepala staf gabungan di Kementerian Pertahanan Rusia, menyatakan 1.351 tentara Rusia telah tewas.
Baca Juga: Bawa-bawa Tuhan, Sumpah Joe Biden untuk Vladimir Putin Bisa Berbahaya buat Dunia!
Dua hari sebelumnya, laman surat kabar pro pemerintah Komsomolskaya Pravda menyebut 9.861 tentara Rusia tewas, kendati kemudian dihapus. NATO dan Ukraina memperkirakan 7.000 sampai 15.000 tentara Rusia tewas dalam perang ini. Bahkan angka 1.351 tetap besar sekali.
Sebagai perbandingan, 15.300 tentara Rusia tewas selama 10 tahun pendudukan Afghanistan pada 1979- 1989 atau sama dengan 1.530 jiwa per tahun. Namun kini, dalam satu bulan saja sudah 1.351 tentara Rusia yang tewas.
Selamatkan muka Rusia juga kehilangan banyak kendaraan tempur, tank, pesawat tempur, bahkan dua hari lalu kehilangan kapal pendarat tank di pelabuhan kota Berdyansk di Ukraina selatan. Kapal perang Saratov berkapasitas angkut 400 tentara, 20 tank atau 40 panser itu hancur lebur. Peristiwa ini terekam jelas oleh kamera sampai diunggah ke YouTube.
Dari video itu terlihat dua kapal perang menjauhi sebuah kapal yang terbakar. Satu dari dua kapal yang menjauh itu berlayar dengan haluan yang sedang dilalap api.
Sehari setelahnya pada Jumat (25/3), Rudskoy menyatakan fase pertama "operasi khusus" di Ukraina sudah selesai dan Rusia kini fokus mempertahankan wilayah Donbas di Ukraina timur. Para analis militer menyebut pernyataan tersebut merupakan upaya Moskow menutupi kegagalan Rusia di Ukraina.
Rusia bahkan sudah kehilangan tujuh jenderal yang menyingkap adanya masalah moral bertempur dalam pasukannya, sampai-sampai jenderal pun terpaksa berada di garis depan. Dengan menyatakan fokus ke Donbas, Putin berusaha menyelamatkan muka agar tak terkesan kalah di Ukraina.
Ini karena fondasi kekuasaan Putin dibangun di atas citra penguasa yang tak pernah kalah. Jika citra itu rusak, maka posisi kekuasaan Putin bisa terancam, apalagi gerakan anti perang di dalam negeri Rusia ternyata tak bisa dibungkam oleh tindakan keras dan ancaman penjara.
Tapi langkah itu pun bisa menunjukkan bahwa Putin telah mengambil keputusan cerdik yang memupus anggapan bahwa dirinya adalah pemimpin yang nekat melakukan apa saja, termasuk menggunakan senjata nuklir dan kimia.
Sepertinya Putin juga menyadari tindakannya tak mendapatkan dukungan luas di dalam negeri sehingga harus berperang di dua front sekaligus: Ukraina dan opini publik di dalam negeri. Ini terlihat dari tiga indikasi berikut.
Baca Juga: Undang Vladimir Putin ke KTT G20, Indonesia Tak Perlu Ikut Narasi Amerika dan Sekutunya
Pertama, ketika pada 16 Maret dia memperingatkan "kolom kelima" (musuh dalam selimut) di Rusia yang bersekongkol melemahkan rezim. Selain gerah oleh kritik oposisi dan aktivis, Putin juga kecewa kepada kalangan tertentu dalam tubuh militer dan dinas intelijen FSB, sampai melucuti wakil panglima garda nasional Jenderal Roman Gavrilov dan beberapa petinggi FSB setelah Rusia gagal mengalahkan Ukraina secara kilat.
Menteri Pertahanan Sergey Shoigu pun sempat "menghilang" dari publik selama hampir dua pekan sebelum tampil beberapa detik saat telekonferensi bersama Putin pada 24 Maret. Situasi yang sama dialami panglima angkatan bersenjata Jenderal Valery Gerasimov. Kedua tokoh kepercayaan Putin itu dianggap yang paling bertanggung jawab atas kegagalan Rusia di Ukraina.
Kedua, pada 18 Maret ketika Putin menggelar rapat akbar di Stadion Luzhniki di Moskow untuk membela invasi Ukraina dan memperingati aneksasi Krimea. Melalui acara itu, Putin ingin menunjukkan kepada lawan-lawannya di dalam dan di luar negeri bahwa dia masih didukung luas oleh rakyat.
Indikasi ketiga adalah pelibatan kekuatan nonreguler dalam militer Rusia, seperti merekrut kombatan Suriah, tentara bayaran Wagner Group, dan pasukan Chechnya. Ini menunjukkan bahwa Putin tak bisa mengandalkan militer sepenuhnya dalam menuntaskan "operasi khusus" itu. Motivasi dan disiplin tempur bisa menjadi faktornya.
Kini perang yang berlarut-larut membuat pasukan Rusia kehilangan momentum. Pada saat yang sama, dampak sanksi Barat mulai dirasakan secara luas oleh masyarakat biasa. Keadaan ini bisa menciptakan ketidakpuasan, termasuk dari dalam tubuh pemerintah Rusia sendiri.
Anatoly Chubais mundur dari jabatannya sebagai utusan khusus Presiden Rusia untuk organisasi internasional. Dia adalah arsitek swastanisasi Rusia pada 1990-an yang menyuburkan oligarki penyangga kekuasaan Putin.
Gubernur bank sentral Elvira Nabiullina bahkan sempat meminta mundur karena kecewa perang telah memupus upaya bank sentral selama sembilan tahun untuk menguatkan sistem moneter Rusia. Putin tak meluluskan permintaannya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: